Cholilnafis.com, Depok-Kini Ramadhan berada di penghujung bulan. Sebagian kita yang beriman pasti sedih akan ditinggalkannya meskipun masih ada beberapa hari lagi untuk menjemput lailatul qadar. Namun sebagian yang lain ada yang gembira karena sebentar lagi akan menikmati ngopi pagi dan makan siang. Itu tergantung pada kekuatan imannya sehingga muncul rasa sedih atau gembira dengan berakhirnya puasa tahun 1442 H.
Sesuatu yang diwajibkan sejak dimulai berpuasa adalah mengeluarkan zakat fitran, meskipun yang utuma dikeluarkannya pada malam lebaran sampai pelakasanaan shalat Idul Fitri. Tujuan zakat fitrah itu untuk menebus kesalahan saat pelaksanaan berpuasa.
Seperti perbuatan maksiat, seperti ucapan yang tak berguna dan perbuatan yang sia-sia. Sebab puasa di bulan Ramadhan tidak hanya meninggalkan makan dan minum, namun juga harus meninggal ucapan buruk dan pembuatan keji.
Disamping itu zakat fitrah untuk memberi kecukupan pangan bagi orang miskin agar kebutuhan makan mereka terpenuhi saat lebaran sehingga tak ada lagi yang lapar, meminta-minta dan semua bergembira saat idul Fitri.
Zakat Fitrah harus berupa makanan pokok keseharian muslim dari semua level dan jenis. Makanya di zaman Nabi saw. ditentukan yang wajib dikeluarkan sebagai zakat fitrah adalah makanan pokok seperti kurma dan gandum. Rasulullah saw bersabda:
عَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: – فَرَضَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – زَكَاةَ اَلْفِطْرِ, صَاعًا مِنْ تَمْرٍ, أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ: عَلَى اَلْعَبْدِ وَالْحُرِّ, وَالذَّكَرِ, وَالْأُنْثَى, وَالصَّغِيرِ, وَالْكَبِيرِ, مِنَ اَلْمُسْلِمِينَ, وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ اَلنَّاسِ إِلَى اَلصَّلَاةِ – مُتَّفَقٌ عَلَيْه
“Dari Ibnu Umar ra., ia berkata bahwa Rasulullah saw. mewajibkan zakat fitrah sebanyak satu sha‘ kurma atau satu sha‘ gandum bagi setiap budak, orang merdeka, laki-laki, perempuan, anak-anak, dewasa dari kalangan Muslimin. Rasulullah saw. memerintahkan pembayarannya sebelum orang-orang keluar rumah untuk shalat Id,” (HR Bukhari dan Muslim).
Jadi, kalua di Arab zaman Nabi saw. makanan pokoknya kurma atau gandung maka yang dikeluarkan adalah salah satunya. Di Indonesia yang makanan pokonya nasi maka yang dekeluarkan zakat fitrahnya adalah beras. Ukurannya sama, yaitu satu sha’.
Imam Nawawi, mengutip Al Hafizh Abdul Haq dalam Al-Ahkam, menyebutkan satu sha’ sama dengan takaran 4 kali cawukan yang menggunakan kedua telapak tangan seperti orang yang tengah berdoa, atau juga disebut sebagai mud.
Baik sha’ maupun mud adalah ukuran takaran, bukan timbangan. Oleh karenanya, satuan ini perlu dikonversi menjadi ukuran timbangan untuk memudahkan pengukuran besaran zakat fitrah pada masa kini. Pada praktiknya, penerapan sha’ dan mud ke ukuran timbangan memiliki berbagai versi.
Satu sha menurut Mazhab Hanafi setara dengan delapan rithl Iraq. Satu rithl Iraq setara dengan berat 130 dirham. Dalam ukuran gram, satu sha’ setara dengan 3.800 gram (3,8 kg). Sementara satu sha’ menurut Mazhab Hanbali setara dengan 2.751 gram (2,75 kg). Adapun menurut Mazhab Syafi‘i, satu sha’ setara 685 5/7 dirham atau lima 1/3 ritl Baghdad.
Mazhab Maliki memiliki pandangan yang sama dengan Mazhab Syafi‘i, satu sha’ setara 685 5/7 dirham atau lima 1/3 rithl Baghdad. Ad-Daruquthni meriwayatkan hadits dari Imam Malik bin Anas bahwa sha’ yang digunakan Nabi Muhammad SAW berukuran lima 1/3 rithl Iraq.
Ada ulama yang menyatakan satu mud adalah 6 ons, sehingga dikali empat menjadi 2,4 kg. Ada juga yang menyatakan satu mud 6,5 ons, bila dikalikan empat menjadi 2,6 kg. Dan ada juga yang menyatakan satu mud 7 ons bila dikalikan empat menjadi 2,8 kg. Menurut Imam Nawawi, satu sha’ setara dengan 680 dirham lebih 5 1/7 dirham.
Jika dibuat perbandingan, 1 sha’ sama dengan 2.176 gram (2,176 kilogram). Secara umum, di Indonesia, rata-rata zakat fitrah dinilai dengan 2,5 kilogram atau setara 3,1 liter yang tampak menjadi angka tengah-tengah dari berbagai pendapat yang ada. Jika mau lebih aman dan keluar dari perbedaan pendapat (al-khuruj minal-khilaf) maka sebaiknya dikeluarkan 3 Kg atau 3,5 liter karena lebihnya dari zakat akan menjadi sadekah.
Jika dikomversi kepada harga uang maka masing-masing daerah harga zakat fitrah berbeda-beda sesuai dengan harga beras setempat dan juga berbeda dengan kualitas beras yang dimasa’ di keluarganya. Pada tahun 2021ini, menurut Baznas, zakat fitrah di Jakarta sebesar Rp40.000, sedangkan di DI Yogyakarta Rp30.000. Jika ingin lebih meyakinkan maka dikeluarkan senilai 50 ribu karena kualitas beras yang dimakan kita berbeda-beda yang pasti berpengaruh pada harganya.
Namun demikian ulama berbeda pendapat tentang mengeluarkan zakat fitrah dengan uang. Minimal ada tiga pendapat. Pertama, pendapat Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah menyatakan bahwa zakat fitra harus berupa makanan pokok suatu negara (qutul balad).
Sebab hadits yang menyebutkan kewajiban zakat fitran menentukan makanan. Maka tidak boleh diganti dengan membayar uang sebagai zakat fitrah. Kedua, Pendapat Imam Ahmad yang dipilih Ibnu Taimiyah bahwa zakat fitrah boleh dibayar dengan uang kalau diperlukan atau ada kemaslahatan.
Ketiga, pendapat Abu Hanifah, sebagian pendapat syafi’iyah dan Hanabilah bahwa mengeluarkan zakat fitrah dengan uang hukumnya boleh. Sebab tujuan zakat fitrah adalah mencukupi kebutuhan orang fakir dsan miskin pada saat lebaran. Karenanya terkadang membayarkan zakat fitrah dengan uang lebih baik dan lebih memenuhi kebutuhannya.
Syaikh Qardhawi berpendapat, Rasulullah saw. mewajibkan zakat fitrah dengan makanan, karena dua alasan. Pertama, jarangnya mata uang di wilayah Arab pada masa Nabi saw. sehingga pemberian makanan pokok melalui zakat fitrah akan lebih memudahkan orang banyak.
Kedua, nilai mata uang yang berubah dari zaman ke zaman lain. Pada masa Nabi saw, (zakat berupa makanan pokok) lebih mudah bagi orang yang memberi, dan di sisi lain, lebih bermanfaat bagi orang yang menerima. Perbedaan pendapat ahli fikih tentang timbangan zakat fitrah dan cara membayarkan ini menunjukkan bahwa Syariah yang berupa teks aslii dari Rasulullah saw. tidak ada perbedaan bahwa zakat fitrah wajib sebanyak satu sha’ kurma atau gandung.
Namun fikih sebagai ijtihad ulama yang menderivasi (istinbathul Hukm) untuk diterapkan kepada negara yang berbeda dan cara membayarnya dengan alat tukar menimbulkan perbedaan.
Perbedaan dalam ijtihad ulama fikih sebuah keniscayaan dan tidak jatuh pada kekufuran. Maka silahkan mengambil pendapat yang anda yakini atau bertanya kepada ahlinya kemudian dilaksanakan. Jangan sampai kita meributkan masalah khilafiyah sampai melahirkan permusuhan