“Jangan Kembali di Tengah Jalan Sebelum Studinya Tuntas”
Cholilnafis.com, Jakarta-Saat kecil dulu, saya sebenarnya sangat ingin bersekolah di SD, SMP dan SMA. Seperti orang-orang kota yang berangkat ke sekolah dengan pakaian rapi. Tapi keinginan saya waktu itu tidak bisa terwujud. Maklum lah, saya dibesarkan di lingkungan keluarga kampung, Desa Jrenguan Kecamatan Omben Kabupaten Sampang yang bisa dibilang tradisional. Selain memegangi tradisi keagamaan secara trurun temurun dengan bersekolah di madrasah atau pesantren, juga kondisi ekonomi keluarga yang pas-pasan. Saya hanya bisa melihat orang-orang kota sepertinya mereka bisa hidup enak.
Suatu kali, saya punya seorang guru umum dari kota Sampang yang mengajar baca-tulis di Pesantren Al-Ihsan Jrenguan, tempat saya belajar. Namanya pak guru Hasan. Saya kagum padanya. Setiap hari pak guru Hasan naik “sepeda ontel” dari Sampang yang jaraknya sekitar 8 km. Dia memiliki dedikasi yang tinggi untuk mengajar. Lalu saya berupaya untuk mendekatinya dan bertanya-tanya tentang banyak hal. Salah satu fokus pertanyaan saya adalah bagaimana saya bisa ikut ujian ijazah persamaan madrasah.
Berdasarkan informasi darinya, kalau mau saya dapat ikut ujian persamaan. Saya sangat antusias ikut ujian persamaan untuk penyetaraan ijazah. Demi tujuan itu saya rela menjual sepeda BMX saya untuk membayar biaya ujian penyetaraan ijazah formal itu. Tapi rupanya keinginan saya itu tidak berjalan mulus. Entah karena apa, yang jelas ujian persamaan itu tak jadi dilaksanakan. Begitu penuturan Pak Guru Hasan. Rasanya saya sedih sekali saat itu, mana saya sudah terlanjur menjual sepeda kesayangan saya pula. Tapi keinginan saya tetap membara jika suatu saat ada ujian persamaan.
Di pesantren tempat saya belajar memiliki sistem pendidikan yang agak unik. Masa belajarnya dianggap tamat mana kala telah sampai kelas dua Tsanawiyah. Tamat belajarnya ditandai dengan perayaan festival naik kuda. Sangat mengesankan dalam kehidupan saya. Sayang sekali, ijazah yang dikeluarkan tidak diakui oleh pemerintah. Maklum lah perhatian pemerintah zaman itu tidak sebesar seperti sekarang. Tetapi Alhamdulillah, saat itu akhirnya saya dapat menyelesaikan ujian Madrasah Ibtidaiyah persamaan. Sekedar diketahui, pesantren Al-Ihsan Jrenguang itu sampai sekarang masih menggunakan kurikulum salaf. Kontennya disusun sendiri tanpa mengikuti kurikulum pemerintah, sehinga ijazahnya tak diakui pemerintah sebagai pendidikan formal.
Selepas lulus pesantren di kampung, saya ingin melanjutkan ke Pesantren Darul Rahman, Jakarta, asuhan Kiai Syukran Makmun. Kebetulan, beliau berasal dari satu kampung dengan saya dan masih ada ikatan keluarga dari jalur ibu. Lumayan, pikir saya saat itu, bisa sekolah di pesantren modern yang berada di Ibu kota. Namun lagi-lagi keinginan itu hanya impian. Masalahnya masih tetap sama karena alasan ekonomi. Pada saat yang sama, abah saya jatuh sakit setelah pulang melaksanakan ibadah haji yang tak kunjung sembuh.
Dengan langkah gontai, akhirnya saya mengikuti jejak kakak-kakak melanjutkan sekolah Tsanawiyah di Pesantren Sidogiri, Pasuruan. Untuk memasuki pesantren ini ukurannya bukan berdasarkan ijazah yang diajukan, tetapi berdasarkan kemampuan dari hasil tes masuk pondok. Dari pengumuman hasil tes saya berhasil diterima langsung kelas dua Tsanawiyah, sementara kakak kandung yang bareng ikut ujian justeru diterima kelas satu Tsanawiyah. Untuk menjaga psikologi kakak saya agar tidak kecewa, akhirnya saya pun mengalah turun ke kelas satu Tsanawiyah. Namun setelah tiga bulan belajar di pesantren, kakak saya justeru malah tidak betah dan saya tetap meneruskan studi.
Selama belajar di pesantren, saya memiliki bakat menonjol dibanding kawan-kawan saya. Saya sangat senang berbicara di depan banyak orang. Hampir setiap hari, hobby saya berpidato dan berdebat. Saat di Pesantren Jrenguan maupun di Sidogiri saya sering memenangi lomba pidato. Apalagi ada penyaluran hobby tambahan saat di Pesantren Sidogiri, yaitu forum musyawarah. Seperti forum Bahtsul Masail di NU yang membahas masalah kekinian dengan merujuk pada khazanah turats fikih klasik. Lumayan, selain menyalurkan hobby debat juga sebagai forum bergengsi karena diikuti oleh peserta pilihan dari perwakilan asrama. Satu hal yang membuat saya tetap semangat adalah saat debat disediakan hidangan makanan enak. Hitung-hitung menambah gizi lah, pikir saya waktu itu.
Sekitar dua tahun saya mondok, yaitu kelas dua Tsanawiyah, saya dapat kabar kalau abah saya sakit keras. Saya disusul untuk pulang, dan akhirnya abah saya dipanggil oleh Allah SWT. Innalillah wa Inna ilaihi Raji’un. Abah saya al-marhum H. Hasanudin telah meninggalkan kami semua. Sebelum beliau wafat, saya sempat menemui abah yang sedang sakit dan beliau berpesan: Nak, kamu jangan berhenti belajar ya, meskipun nanti banyak tantangan di perjalananmu. Bahasa maduranya: Jek abelih ejelen (jangan kembali di tengah jalan sebelum studinya tuntas selesai). Itu bagian dari wasiyat abah yang terus terngiang-ngiang dalam ingatan saya hingga saat ini.
Wasiat ini mengingatkan saya kepada nasihat lainnya yang terus ada di alam bawah sadar, yaitu: Jangan takut kepada siapapun asal kamu benar, meskipun ada malaikat berjubah turun dari langit. Jangah goyah pada prinsipmu yang diyakini benar. Yang harus kamu takuti adalah berbuat salah kepada orang lain. Nasihat lainnya: Jangan berhenti belajar sampai tuntas. Terkenang dalam benak saya, almarhum abah saya sampai rela menjual langgar (mushalla) pribadi demi meneruskan studi anak-anaknya. Ada nasihat abah dan umi saya yang terus menjadi ingatan kolektif keluarga: Saya tak bangga anak saya memiliki banyak perusahaan dan kekayaan yang melimpah, tapi saya lebih bangga kalau anak saya bisa mendirikan pesantren.
Ternyata nasihat orang tua untuk mendidirkan pondok pesantren itu parallel dengan motivasi ulama-ulama panutan saya selama saya berkiprah di Jakarta. Kiai Tholhah Hasan berucap kepada saya: Cholil kalau hanya mengandalkan SK (surat keputusan di organiasi dan birokrasi) itu hanya berlaku secara periodic. Untuk bisa survive dan terus berkiprah selamanya di masyarakat, bahkan di akhirat manakala dapat membangun basis sosial. Kiai Tholhah mencontohkan Universitas Malang dan rumah sakit yang ia bangun. Kiai Hasyim Muzadi pun menasihati hal yang sama, agar saya segera mendirikan pesantren untuk menjadi tempat pengkaderan umat.
Nasihat-nasihat itu tak terbayang dalam pikiran saya. Bagaimana bisa saya bikin pesantren di Jabodetabek yang sudah padat dan harga tanah yang mahal. Harus memulai dari mana saya merealisasikan nasihat dan harapan orang tua. Disamping itu, pikiran saya tak cenderung untuk mengurusi pendidikan pesantren karena sedang asyik dengan dunia akademik di perguruan tinggi dan berorganisasi. Namun nasihat itu selalu menghantui pikiran saya.
Suatu ketika saya mencoba membina pesantren kecil-kecilan untuk kalangan mahasiswa. Pikir saya, lumayan kalau mengurus mahasiswa tak begitu merepotkan. Namun itu tak berjalan mulus karena jadwal saya yang padat dengan acara-acara organisasi, menulis, seminar, dan ceramah. Tapi sebenarnya itu alasan saja, sebab pada intinya karena masih menomorduakan pembinaan generasi secara langsung di pesantren.
Pada tahun 2014, Allah SWT membukakan jalan untuk mengurus pesantren. Walhamdulillah ada tanah wakaf seluas satu hektar lebih di tempat yang strategis di Jl. Kalimulya Cilodong, Depok. Saya pun sangat berminat dan ingin merealisasikan nasihat para guru dan harapan orang tua untuk mendirikan pesantren.
Allahumma waffiqna ya Allah.
Pengasuh/Ketua Pembina
Yayasan Investa Cendekia Amanah
Ttd
KH. M.Cholil Nafis, Lc., Ph D.