CHOLILNAFIS.COM, Jakarta-Suatu hari seorang sahabat bernama Ashil Al-Ghifari baru kembali dari Makkah. Ketika hendak menemui Nabi, istri Rasulullah, Aisyah RA, bertanya kepadanya, “Wahai Ashil, bagaimana keadaan Makkah sekarang?”
Ashil menjawab, “Aku melihat Makkah subur wilayahnya, dan menjadi bening aliran sungainya.” “Duduklah engkau, wahai Ashil. Tunggu sampai Rasulullah datang,” kata Siti Aisyah. Tak lama, Rasulullah SAW pun keluar dari kamar dan menanyakan hal yang serupa. Dia berkata, “Wahai Ashil, ceritakanlah padaku bagaimana keadaan Makkah sekarang?”
Ashil menjawab, “Aku melihat Makkah subur wilayahnya, telah bening aliran sungainya, telah banyak tumbuh idzkirnya (nama sejenis pohon), telah tebal rumputnya, dan telah ranum salamnya (sejenis tanaman yang biasa digunakan untuk menyamak kulit)”. “Cukup, wahai Ashil. Jangan kau buat kami bersedih,” ucap Rasul dengan penuh rindu.
Begitulah naluri manusia, pasti rindu kampung halaman. Rasulullah sangat merindukan kota kelahiran dan dibesarkannya di Kota Makkah.
Rasulullah pulang kampung ke Makkah setelah delapan tahun meninggalkan kampung halamannya itu pada tanggal 10 Ramadhan tahun ke-8 Hijriyah atau bertepatan dengan 8 Juni 632 M. Memang, konteks dan misi mudik yang dilakukan Rasulullah SAW dan para sahabatnya untuk melakukan penaklukkan Makkah (Fathu Makkah), bukan sekadar pulang kampung biasa. Dia kembali untuk membangun peradaban dan kesucian kampungnya, Makkah.
Kata mudik sangat akrab bagi masyarakat Indonesia khususnya menjelang akhir Ramadhan. Arti mudik adalah kegiatan perantau/pekerja migran untuk kembali ke kampung halamannya. Mudik di Indonesia identik dengan tradisi tahunan yang terjadi menjelang hari raya besar keagamaan, misalnya menjelang Lebaran. Pada saat itulah ada kesempatan untuk berkumpul dengan sanak saudara yang tersebar di perantauan, selain tentunya juga sowan dengan orang tua.
“Mudik bukan bayangan yang menyenangkan, melainkan menariknya di Indonesia mudik menjadi tradisi yang mengurat mengakar, dari masyarakat biasa, pengusaha sampai para pejabat negara. Tentu di balik itu semua ada makna yang besar baik dari aspek duniawi maupun ukhrawi, sehingga warga masyarakat tidak menghiraukan lagi berbagai kesulitan yang dijumpai saat mudik.
Mereka tetap menampakkan raut kebahagiaan saat-saat mudik telah dekat. Dan bahkan ketika sampai di kampung halaman, perjuangan keras saat dalam perjalanan mudik tidak tampak lagi, yang tampak hanya raut kebahagiaan. Mereka bahagia bertemu dengan orang tua, saudara-saudara, dan para tetangga seakan sebuah reuni besar tahunan.
Setelah sekian lama merantau pergi dari kampung halaman, maka datangnya hari raya menjadi momen yang sangat menyenangkan karena berarti akan ada libur panjang yang dapat digunakan untuk bersilaturahim dengan sanak keluarga dan handai tolan.
Semangat ini sejalan dengan seruan Islam agar kita senantiasa menjalin hubungan silaturahim. Allah SWT berfirman; “… dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS an-Nisaa’[4]: 1)
Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang ingin dilapangkan rezkinya, dan ingin dipanjangkan usianya, maka hendaklah dia menyambung silaturahim.” (HR al-Bukhari).
Dalam ayat dan hadis ini, Allah dan Rasul-Nya sangat menganjurkan agar manusia senantiasa saling bersilaturahim satu dengan yang lainnya, bahkan Rasulullah menyatakan orang yang bersilaturahim akan dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya. Karena itu, hendaknya mudik diniati untuk bersilaturahim dengan famili, sahabat, dan handai tolan agar mudik membawa keberkahan kepada kita semua.
Di samping itu, mudik juga menjadi ajang untuk bermaaf-maafan sesama anak adam. Di sini perlunya mudik sungguh pun jauh dan merepotkan, tetapi pada saat-saat tertentu perlu dilakukan mengingat Allah SWT tidak ikut campur pada dua anak adam yang berseteru, artinya Allah SWT tidak akan mengampuni dosa salah satu pihak, selama pihak-pihak yang berseteru tidak saling memaafkan.
Setelah puasa kita sempurna satu bulan dan Allah SWT memberi ampunan terhadap dosa-dosa kita (kharoja min dzunubihi kayaumin waladathu ummuhu), tinggal kita membersihkan dosa-dosa kita sesama anak adam. Jika mudik dimaknai dalam konteks ini, maka mudik memiliki makna yang baik, tidak sia-sia betapapun kita telah mengeluarkan tenaga dan biaya serta kerepotan-kerepotan lainnya saat mudik. Inilah yang kita sebut “idul fitri”, yaitu kembali kepada kesucian.
Namun demikian, ada sisi negatif mudik, di mana mudik sering kali menjadi ajang unjuk kesuksesan. para pemudik biasanya sangat bangga jika mudik Lebaran dapat memperlihatkan kesuksesannya kepada masyarakat, misalnya sudah dapat membeli kendaraan, seperti motor atau mobil atau barang-barang berharga lainnya.
Kebanggaan didapatkan manakala masyarakat sudah mengakuinya bahwa yang bersangkutan sukses di perantauan. Karena itu, imbauan-imbauan pemerintah agar para pemudik menggunakan angkutan umum tidak menggunakan sepeda motor tidak dihiraukan. Para pemudik menggunakan sepeda motor, di samping dianggap praktis dan nantinya diperlukan untuk silaturahim di kampung, juga sebagai ajang untuk memperlihatkan bahwa dirinya sudah mampu membeli kendaraan bermotor.
Sisi negatif lainnya, mudik sering kali mendorong sikap konsumerisme. Banyak pemudik yang membelanjakan uangnya dengan sangat mudah, bahkan kadang-kadang untuk keperluan yang tidak mendesak. Ada yang menjadikan momen mudik seolah-olah untuk euforia membelanjakan uangnya setelah sekian lama merantau. Apalagi ada anggapan dari masyarakat yang tidak merantau seolah-olah para perantau itu bos, sehingga para perantau pun terhipnotis untuk berperilaku seperti bos tanpa mempertimbangkan ketebalan kantongnya. Di sisi lain juga para pedagang menawarkan dagangannya dengan sangat menarik, dari pakaian sampai makanan, bahkan kendaraan, sehingga para pemudik terpancing untuk berbelanja. Akibatnya kadang-kadang uang yang dicari setahun lamanya hanya habis untuk mudik.
Sisi negatif ini perlu dikurangi atau bahkan kalau bisa dihilangkan sama sekali agar mudik dapat memberikan makna yang berarti dalam kehidupan dunia dan akhirat. Sebab, sisi negatif yang pertama mengarah kepada sifat sombong dan pamer harta kepada orang lain. Sifat ini bisa menjadikan seseorang lalai kepada Allah SWT.
Allah SWT melarang hamba-hambanya bersikap sombong karena harta sampai melalaikan Allah SWT, sebagaimana dalam firman-Nya: “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu). ” (QS at-Takatsur [102]: 1-3).
Karena itu, andaipun para pemudik tidak dapat dihindari harus membawa hasil jerih payahnya diperantauan, baik berupa kendaraan ataupun harta kekayaan lainnya harus diniati dalam hatinya sebagai mensyukuri nikmat (tahadduts bin ni’mah) sebagaimana perintah Allah SWT, “Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu siarkan”. (QS adh-Dhuha [93]: 11).
Demikian juga para pemudik seharusnya dapat mengendalikan diri agar tidak terjebak pada budaya konsumerisme. Para pemudik harus ingat, masih ada hari esok yang memerlukan biaya-biaya sehingga harta yang diperoleh seharusnya tidak dihabiskan pada saat mudik. Allah SWT telah mengingatkan kita; “Makan dan minumlah dan jangan berlebih-lebihan, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (QS al-A’raaf [7]: 31)
Mudik akan memiliki makna religius dan akan memperkuat spiritualitas jika kita melakukan mudik tidak sekadar rutinitas tahunan, tetapi disertai niat untuk beribadah kepada Allah SWT yaitu untuk bersilaturahim, bermaaf-maafan sesama anak Adam, menghindari konsumerisme dan bermegah-megahan dengan harta. Semoga Allah menuntun kita ke jalan yang diridhai-Nya. (Adm/Fz)