Pertanyaan :
Kiai, teman saya penganten baru terlanjur coitus (jima’) di siang bulan Ramadlan. Saya katakan, kamu harus bayar kaffarat dengan memerdekakan budak, puasa dua bulan bertutrut-turut atau memberi makan 60 fakir miskin. Namun ia bertanya, apa kaffarat itu boleh dipilih atau harus berurutan ? Dan yang bayar kaffarat itu yang laki saja atau juga yang perempuan. Maaf Kiai saya tidak bisa menjawab, mohon penjelasan dari Kiai, terima kasih.
Moh. Taufiq, Tapak Siring Surabaya
Jawaban :
Mas Moh Taufiq yang saya hormati, suatu ketika ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah saw seraya berkata : “ Celaka aku Rasul. “ Rasululllah bertanya, “ Apa yang mencelakaanmu ?” Lelaki itu menjawab, “aku bersetubuh dengan isteriku di siang bulan Ramadlan.” Kemudian Rosulullah bersabda; “ Apa kamu punya untuk memerdekakan budak ?” Lelaki itu menjawab, “ Tidak Rasul.” “ Apakah kamu bisa puasa dua bulan berturut-turut ?” Lelaki itu juga menjawab, “ Tidak.” Rasulullah bertanya lagi, “ Apakah kamu bisa memberi makan 60 orang miskin?” Juga lelaki itu menjawab, “Tidak.” Kemudian Rosulullah duduk dan mengambil satu bejana yang berisi kurma, seraya bersabda, “ Bershadakahlah dengan ini !” Lelaki itu berkata, “ Apa ada yang lebih miskin dari saya? Tidak ada tetangga yang lebih buituh dari pada saya.” Rosulullah tersenyum sampai terlihat giginya kemudian bersabda, “Pergilah dan berikan makan ini kepada keluargamu !” (H.R. Syaikhan) Tambahan dari Abu Daud, “ Makanlah kamu dan keluargamu ! Puasalah satu hari dan mohonlah ampun kepada Allah.
Para Ulama’ fiqh sepakat bahwa tindakan orang yang membatalkan puasanya dengan cara jima’ di siang bulan Ramadlan harus membayar kaffarat tersebut, namun apakah harus berurutan atau boleh memilih ? Ada dua pendapat. Pertama, menurut jumhur fuqoha’ wajib berurutan. Tidak boleh pindah ke memberi makan 60 fakir miskin kalau masih mampu puasa dua bulan dan begitulah sterusnya; Kedua, pendapat Imam Malik dan sebagian riwayat dari Imam Ahmad bahwa boleh memilih di antara memerdekakan budak, puasa dua bulan atau memberi makan 60 fakir miskin dan tidak harus berurutan.
Pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam kitab Muwattha’ dan al-Syaikhan, dari Abu Hurairah bahwa ada seorang lelaki jimak di siang bulan Ramadlan kemudian Rasulullah menyuruhnya memerdekakan budak “atau” puasa dua bulan “atau” memberi makan 60 fakir miskin. Kata “atau” (aw) di sini menunjukkan untuk memilih (littakhyir) bukan berurutan (littartib) sebagaimana dalam kaffarat sumpah.
Menjawab pertanyaan, apakah yang wajib bayar kaffarat itu yang laki saja atau keduanya suami isteri ? Jawabnya, juga ada dua pendapat ulama’ fiqh. Pertama, pendapat jumhur ulama’, bahwa jika dilakukan suka sama suka, maka keduanya yang laki dan perempuan sama-sama wajib bayar kaffarat. Tetapi kalau yang perempuan dipaksa, maka yang wajib hanya yang laki saja yang perempuan cukup mengqadla satu hari; Kedua, pendapat Imam al-Syafi’i, dan Imam Ahmad bahwa yang wajib membayar kaffarat hanya yang laki saja dan bagi perempuan hanya diwajibkan mengqadla’ satu hari saja walaupun dilakukan suka sama suka. Alasannya, ketika kejadian seorang lelaki mengadu kepada Rasulullah ia jimak di siang bulan Ramadlan, yang disuruh membayar kaffarat oleh Rasulullah hanya yang laki saja dan tidak menyuruh kepada yang perempuan pada hal Rasulullah mengetahuinya. (DR. Yusuf al-Qordlowi. Fiqh al-Shiyam : 96-97)
Mas Moh Taufiq, nasehati temanmu yang penganten baru itu, agar berhati-hati jangan mendekati isterinya di siang Ramadlan agar tidak terjadi yang dilarang agama, kalau di waktu malam silakan, karena memang di bolehkan bagi orang yang berpuasa untuk berkumpul dengan isterinya di malam Ramadlan.
Semoga puasa kita diterima oleh Allah SWT. Amiin ya Mujibassailin.