Pertanyaan :
Maaf Kiai saya bertanya agak peribadi. Begini Kiai, suatu saat di siang bulan Ramadhan ini saya istirahat bersama isteri di ranjang akhirnya saya tidak kuat menahan syahwat, terpaksa saya berhubungan suami isteri, tetapi sebelum itu saya makan dan minum dulu biar segar. Yang menjadi pertanyaan saya Kiai, bagaimana cara menggantinya ? Apa cukup bayar satu hari atau puasa dua bulan ? Tolong Kiai saya merasa sangat berdosa. Atas jawaban Kiai saya haturkan terima kasih.
Ismail, Karang Anyar Pasuruan
Jawaban:
Pak Ismail yang saya hormati, seorang yang sedang berpuasa lalu sengaja membatalkan puasanya dengan cara jima’ (coitus) secara langsung (tanpa dibatalkan dengan makan minum terlebih dahulu), maka para ulama sepakat bahwa harus mengganti puasanya dengan memerdekakan budak, berpuasa dua bulan berturut atau memberi makanan 60 orang miskin. Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Hurairah, bahwa seorang lelaki datang kepada Rasulullah saw, kemudian dia berkata, “ Celaka aku hai Rasulullah!” Rasulullah bertanya, apa yang membuatmu celaka ?” Lelaki itu menjawab, “ Aku melakukan (jima’) dengan isteriku di siang bulan Ramadlon.” Maka Rasululloh SAW bersabda, “Apa kamu bisa memerdekakan budak ?” Lelaki itu menjawab, “tidak.”. Rasululloh bertanya lagi, “Apakah kamu bisa puasa dua bulan berturut-turut ?” “tidak” jawab lelaki itu. Rasululloh bertanya Rasululloh bertanya lagi, “ Apakah kamu bisa memberi makan 60 orang miskin?” Lelaki itu menjawab, “Tidak.” Lelaki itu duduk kemudian Rasulullah mengambil satu bejana yang berisi kurma, seraya bersabda, “Bershadakahlah kamu dengan ini !” Lelaki itu berkata, “ Apa ada yang lebih miskin dari saya ? Tidak ada di antara keluarga di tempat saya yang lebih butuh makanan daripada saya.” Rasululloh tersenyum sampai terlihat giginya kemudian bersabda, “ Pergilah dan berikan makan ini kepada keluargamu !” (H.R. Syaikhan).
Namun jika membatalkan puasanya dengan cara makan terlebih dahulu baru setelah itu melakukan jima’, artinya walaupun niat awal ingin bersetubuh dengan isteri namun tidak dibatalkan langsung dengan jima’ tetapi di awali dengan makan minum, maka dalam hal ini ada beberapa pendapat ulama’:
- Madzhab Syafi’i dan Hanbali : Dia berdosa tetapi cukup mengganti sehari saja dan tidak wajib bayar kaffarat, karena dia tidak membatalkan langsung dengan jima’ sedangkan yang diwajibkan kaffarat itu yang langsung jima’. Tetapi dia harus dita’zir (diberi hukuman) oleh ulil amr sebagai tebusan atas kesalahannya.
- Madzhab Hanafi dan Maliki : Dia tetap harus mengganti dua bulan berturut-turut atau bayar kaffarat, karena niat awal dia ingin jima’ cuma dia membatalkannya dengan makan dahulu jadi dikembalikan pada tujuan awal. Dan qiyas antara syahwat perut atas syahwat farj. ( almajmu’ : 6/329)
Pak Ismail, ketika berpuasa hendaknya berusaha menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa dan hendaknya menghindari diri dari perbuatan yang dapat menyebabkan batalnya puasa. Tidur satu ranjang dengan isteri pada saat puasa sangat memungkinkan untuk bisa digoda syetan dan terjadinya hubungan suami isteri, maka seharusnya itu dihindari agar tidak terjadi apa yang sudah terjadi kepada Pak Ismail. Apa yang sudah terjadi yaitu Pak Ismail melakukan hubungan suami isteri di siang bulan Ramadlan namun dibatalkan puasanya dengan makan dahulu agar segar, menurut penulis, Pak Ismail itu berdosa dan segera bertobat namun cukup mengganti satu hari saja dari puasa yang batal itu dan tidak harus mengganti dua bulan juga tidak harus membayar kaffarat, sesuai hadits Abu Hurairah di atas, juga pendapat Imam Syafi’i dan Hambali. Wallahu a’lam bisshowab.