“Ramadan adalah kado terindah umat Muhammad SAW untuk mereguk kenikmatan spiritual yang tidak diberikan kepada umat-umat sebelumnya”
CHOLILNAFIS.COM,Jakarta- Sebelum manusia lahir di muka bumi, Allah SWT meniupkan ruh-Nya ke janin yang masih dalam kandungan ibu pada usia 120 hari (empat bulan) kehamilan.
Dalam surat Shaad disebutkan, “Maka apabila telah Ku sempurnakan kejadiannya dan Ku tiupkan kepadanya ruh-Ku.”(QS: 38:72).
Ruh yang ditiupkan itu sebagai daya jiwa manusia ketika kelak berada di dunia.Tidak hanya di situ, Tuhan pun mengajak “dialog” untuk meneguhkan keyakinan manusia.
Allah SWT berfirman dalam: “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (Hal ini) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lupa terhadap ini.” (QS: 7: 172)
Peniupan ruh dan dialog spiritual itu menunjukkan pada hakikatnya manusia sebagai makhluk spiritual yang telah ber-Tuhan sejak di dalam kandungan. Penggunaan kata “nafakh” atau “meniupkan” menunjukkan perbuatan itu sebagai titah Allah SWT. secara langsung tanpa melibatkan makhluk-Nya. Hal tersebut berbeda ketika Al-Quran menggunakan kata, “Menciptakan atau menjadikan.”
Sebagai contoh, Allah menciptakan manusia dari saripati tanah. Kata “menciptakan” ini mengandung makna adanya peran pihak lain, khususnya keterlibatan suami dan istri. Namun, penggunaan kata “nafakha” menunjukkan adanya proses langsung tanpa perantara.
Pertanyaannya lalu muncul, apakah Allah SWT memiliki ruh sehingga dapat ditiupkan ke dalam diri manusia? Lalu apa bedanya dengan ruh yang ada dalam diri manusia?
Di sinilah yang dimaksud dengan Ruh-Ku, yaitu sifat Allah secara ma’ani, yaitu: qudrah (kekuasaan), iradah (kehendak), ilmu (pengetahuan), hayat (kehidupan), sama’ (pendengaran), bashar (penglihatan), dan kalam (pembicaraan).
Penjelasannya, bahwa dengan tiupan sifat qudrah Allah, sehingga manusia memiliki kekuasaan atau kekuatan.
- Tiupan sifat iradah Allah, lalu manusia memiliki kehendak/keinginan.
- Tiupan sifat ilmu Allah, kemudian manusia memiliki pengetahuan.
- Tiupan sifat hayat Allah yang menjadikan manusia hidup.
- Demikian juga tiupan sifat sama’ Allah, sehingga manusia memiliki pendengaran.
- Tiupan sifat bashar Allah, manusia memiliki penglihatan.
- Sedang tiupan sifat kalam Allah, sehingga manusia memiliki perkataan.
Sebagai makhluk spiritual, bagaimana caranya agar manusia tetap terjaga jati dirinya?
Allah telah memberikan banyak “guidance” agar manusia dapat dan tetap menjadi makhluk spiritual. Satu di antara media penggemblengan manusia menuju jalan spiritual adalah mengisi bulan suci Ramadan dengan berbagai aktivitas spiritual.
Kenikmatan Spiritual
Ramadan memang bulan spesial yang penuh keistimewaan. Ramadan adalah kado terindah umat Muhammad SAW untuk mereguk kenikmatan spiritual yang tidak diberikan kepada umat-umat sebelumnya. Di bulan Ramadhan banyak momen-momen penting manusia untuk bisa menemukan jati dirinya melalui “riyadlah” (olah batin).
Apalagi di dalamnya dijanjikan Tuhan terdapat malam “lailatulqadar“, sebuah malam yang lebih baik dari 1.000 bulan. Tentu, bulan suci yang datang setahun sekali ini perlu kita sambut secara hati riang, penuh keimanan dan harapan baik (pahala).
Meski untuk mendekatkan diri kepada Tuhan kita tidak harus menunggu momen Ramadhan. Kapanpun dan dimanapun kita bisa, tetapi bulan suci memang menjanjikan kenikmatan spiritual dan raihan pahala melimpah.
Melalui amalan ibadah di bulan yang penuh rahmah ini, seperti puasa, salat, tilawailquran, memperbanyak sedekah, tafakkur, dan riyadlah, kita akan menemukan jalan spiritual yang pada akhirnya dapat kembali sebagai makhluk spiritual. Ramadan memang datang dan pergi pada setiap tahun.
Namun jika kita tidak mampu memaknainya hingga mencapai tahapan puncak spiritual (takwa), Ramadhan hanya menjadi rutinitas fisik yang melelahkan. Wallahua’lam (Fz/Adm)
Baca Juga di http://www.tribunnews.com/ramadan/2019/05/07/mengisi-bulan-suci-ramadan-dengan-aktivitas-spiritual?page=all