Pertanyaan :
Ustadz, di kampung asaya ada beberapa musholla, saya kadang salat di musholla yang dekat rumah saya tetapi juga kadang salat di musholla yang lain. Kalau saya perhatikan selesai salat kok lain, ada yang dzikir dan do’anya dengan suara keras ada pula dengan suara pelan. Bagaimana sebenarnya menurut tuntunan islam ?
Arif Ulinnuha, Wonocolo Surabaya
Jawaban :
Akhi Arif Ulinnuha yang budiman, Allah SWT sangat dekat dengan hamba-Nya lebih dekat dari urat nadi, Dia tidak tuli dan Dia Maha Mendengar do’a hamba-Nya. Maka dari itu Allah SWT menganjurkan kalau berdo’a dengan suara yang lembut, “Berdo’alah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang – orang yang melampui batas.” (Q.S. al-A’raaf : 55) Allah juga menegaskan kembali, “Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut dan dengan tidak mengeraskan suara ….”
Rasulullah SAW juga pernah mengingatkan sahabat agar tidak berteriak – teriak ketika berdo’a. dalam sebuah hadits dari Abu Musa Al Asy’ari R.A. berkata, “ Kami beserta Rasulullah SAW apabila kami melihat sebuah lembah di antara dua gunung kami membaca tahlil dan takbir dengan suara keras. Nabi SAW bersabda : ‘Wahai sekalian manusia, rendahkanlah suaramu karena kalian tidak memanggil Yang tuli dan bukan pula memanggil Yang ghoib. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Dekat.’” ( H.R. Bukhori )
Imam Syihabuddin al Qustholani mengomentari hadits tersebut bahwa menunjukkan’Makruh’ hukumnya mengeraskan suara dalam berdo’a dan berdzikir. ( Ta’liq kitab Jawahirul Bukhori : 325 ). Namun demikian ulama’ ada yang mengatakan boleh bahkan sunah bukan bid’ah berdo’a dan berdzikir dengan suara keras karena beberapa hal, di antaranya : karena niat mengajarkan kepada yang lain (makmum) selesai salat fardlu. Ini berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Sesungguhnya mengeraskan suara ketika berdzikir seusai melaksanakan salat fardlu pernah dilakukan pada zaman Nabi Muhammad SAW.” Selanjutnya Ibnu Abbas berkata, “Aku mengetahui dan mendengarnya (berdzikir dan berdo’a dengan suara keras) apabila mereka selesai melaksanakan salat dan hendak meninggalkan masjid.” (H.R. Bukhori dan Muslim ) Imam al Nawawi menceritakan bahwa imam al Syafi’i menyimpulkan dari hadits tersebut, bagi orang yang mengeraskan suara ketika berdzikir dan berdo’a sesudah salat dalam rangka untuk mengajarkan kepada para makmum, dan dilakukan tidak terus – menerus.” ( Irsyadussari li Shohih al Bukhori : 2/136). Imam Zainuddin al Malibari menegaskan, “Disunahkan berdzikir dan berdo’a secara pelan seusai salat. Maksudnya hukumnya sunah membaca dzikir dan do’a secara pelan bagi orang yang salat sendirian, berjama’ah, imam yang tidak bermaksud mengajarkannya dan tidak bermaksud pula untuk memperdengarkan do’anya supaya diamini mereka.” (Fathul Mu’in : 24) Berarti, kalau bermaksud mengajarkan kepada yang lain dan supaya diamini oleh yang lain maka boleh dengan suara keras.
Akhi Arif Ulinnuha yang dimuliakan Allah SWT , dari penjelasan di atas dapat disimpulkan :
- Berdzikir dan berdo’a sesudah salat fardlu sebaiknya dengan suara pelan, dan makruh hukumnya dengan suara keras kalau para makmum sudah hafal dam memahami.
- Boleh bahkan sunah berdzikir dan berdo’a dengan suara keras tetapi khusyu’ kalau dimaksudkan untuk mengajarkan kepada jamaah atau untuk diamini do’anya.
Akhi Arif Ulinnuha, jadi perbedaan yang terjadi di musholla di kampung Anda mungkin karena juga perbedaan kondisi jamaahnya, ada yang sudah mampu membaca dzikir sendiri tanpa harus dikomando oleh imam dan itu baik, tetapi mungkin ada di musholla yang lain jamaahnya masih perlu bimbingan atau agar do’a imam diamini bersama – sama maka baik juga dengan suara keras. Semua itu baik jika sama – sama diniatkan yang baik, tidak saling menghina dan membenarkan diri sendiri. Bagi akhi Arif Ulinnuha silakan lihat kemampuan Anda, apa yang termasuk bisa mandiri atau perlu bimbingan dalam berdzikir dan berdo’a. Wallahul a’lam bisshowab