“Pengelolaan dana berprinsip Syariah tidak hanya memenuhi akad-akad yang tertuang dalam fatwa Dewan Syariah Nasional seperti wakalah, mudharabah atau musyarakah, namun juga perlu menyentuh tujuan Syariah (maqashid Syariah)”
CHOLILNAFIS.COM, Jakarta-Penduduk muslim di Indonesia terbesar di dunia. Bahkan melebihi seluruh penduduk muslim di semenanjung Arab. Selain memiliki kekayaan alam melimpah, masyarakatnya dikenal sangat religius. Mereka memiliki tradisi keberagamaan (Islam) yang sangat kental dengan corak kebudayaan yang khas. Ekspresi keberislaman berakulturasi dengan kebudayaan yang mewujud dalam watak khas muslim di Nusantara.
Pada saat yang sama, kesejahteraan masyarakat yang terus meningkat berbanding lurus dengan meningginya spirit keberagamaan, khususnya praktik ibadah haji sebagai rukun Islam kelima. Jika dilihat dari antusiasme masyarakat Indonesia terhadap ibadah haji terus mengalami penambahan yang sangat signifikan. Hal ini bisa dilihat dari lamanya daftar tunggu (waiting list) calon haji yang rerata sekitar 20 tahun. Ukuran waktu yang terhitung cukup lama dalam penantian melaksanakan ibadah.
Di satu sisi, lamanya masa tunggu tersebut menyebabkan kesempatan setiap calon haji menjadi berkurang karena ada kemungkinan terkendala soal usia dan kesehatan dimana ibadah haji memerlukan kondisi fisik yang prima. Namun demikian, secara ekonomi justru menjadi potensi besar keuangan Syariah di Indonesia.
Menurut data yang dilansir oleh portal www.kompas.com, hingga April 2018, dana haji di Indonesia mencapai Rp 105 triliun lebih. Terdiri dari Rp 102 triliun dana setoran awal dan nilai manfaat. Sedangkan sisanya sekitar Rp 3,2 triliun adalah dana abadi umat yang merupakan surplus dari penggunaan pengelolaan haji. Target ke depan, pada akhir tahun 2018 ini Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) akan mengelola Rp 110 triliun dan dana haji di tahun 2022 akan mencapai Rp 150 triliun.
Dilihat dari lamanya waktu tunggu dengan sistem pembayaran selama ini jelas bahwa dana haji memiliki potensi yang sangat besar. Hal ini dapat dilihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS), bahwa penduduk muslim Indonesia sebanyak 88% dari total 261 juta penduduk Indonesia. Berarti ada sekitar 222 juta penduduk muslim Indonesia yang berpotensi untuk menyetor biaya awal keberangkatan haji. Jika diasumsikan ada 100 juta umat muslim menyetor biaya awal 25 juta perorang, maka dana haji akan terkumpul 2500 triliun. Jumlah yang sangat besar, bahkan dana ini melebihi dari total angka Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2018 sebesar Rp2.220,7 triliun.
Namun, faktanya masih banyak masyarakat yang enggan melakukan setoran awal ongkos haji. Hal ini karena faktor antrian yang terlalu panjang serta masih minimnya kesadaran dini untuk menunaikan ibadah haji dengan persiapan jangka panjang. Akibatnya, masyarakat lebih memilih jalan pragmatis dengan melaksanakan ibadah umrah berulang-ulang tanpa mempertimbangkan kondisi lingkungan yang membutuhkan uluran tangan.
Sebenarnya bagi yang sudah mampu untuk melaksanakan ibadah haji hukumnya wajib menyegerakan daftar berangkat haji. Memang para ulama berbeda pendapat, apakah pelaksanaan ibadah haji yang hanya sekali dalam seumur hidup wajib menyegerakan atau boleh ditunda. Namun nomor antrian yang begitu panjang jika tidak disegerakan mendaftar dan menyetor ongkos haji bisa dipastikan tidak berkesempatan berangkat haji. Hal ini terkait dengan terbatasnya umur atau minimal akan menyulitkan saat melaksanakan ibadah haji karena kondidisi tubuh yang sudah udzur dan tak prima lagi.
Pengelolaan Dana Haji
Berdasarkan keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia IV tahun 2012 di Cipasung dan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia nomor 122/DSN-MUI/II/2018 bahwa dana setoran awal biaya penyelenggaraan ibadah haji merupakan milik calon jemaah secara perorangan (individu). Pengelola harus membagikan hasil investasi kepada pemilik modal. Demikian juga ditegaskan oleh Undang-undang Republik Indonesia nomor 34 tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji pasal 7 ayat 1 menyatakan bahwa setoran biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) dan/atau BPIH Khusus merupakan dana titipan jemaah haji untuk penyelenggaraan ibadah haji. Karenanya, pengelolaan dana haji harus berdasarkan akad dengan pemilik dana termasuk ketentuan bagi hasilnya. Dana jemaah harus diinvestasikan oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) yang sesuai Syariah dengan prinsip kehati-hatian.
Menggunakan hasil manfaat pengelolaan dana haji milik calon jemaah haji untuk menutupi biaya jemaah haji yang sedang berangkat menunaikan ibadah haji tanpa akad yang jelas dan diketahui oleh pemilik dana hukumnya haram. Sebab, dana manfaat itu sebagiannya milik jemaah calon haji yang masih menunggu, sementara seluruh manfaatnya digunakan oleh jemaah yang sedang menunaikan ibadah. Artinya, sebagian biaya penyelenggaraan ibadah haji didapat dari harta orang lain tanpa akad yang jelas.
Pengelolaan dana berprinsip Syariah tidak hanya memenuhi akad-akad yang tertuang dalam fatwa Dewan Syariah Nasional seperti wakalah, mudharabah atau musyarakah, namun juga perlu menyentuh tujuan Syariah (maqashid Syariah), yaitu kesejahteraan (falah). Artinya, target investasi dana haji tidak hanya berorientasi pada keuntangan semata apalagi sampai berobsesi pada keuntungan yang melebihi suku bunga bank sentral. Akan tetapi tujuan investasinya harus berorientasi pada pemberdayaan masyarakat.
Investasi dana haji perlu banyak menyentuh sektor riil dengan sistem manajmen risiko yang ketat.
Jika 50% keuangan haji disalurkan pada sektor usaha kecil dan menengah, maka akan banyak membuka lapangan kerja dan menggerakkan ekonomi umat. Seperti permodalan dengan sistem pendampingan bagi usaha mikro dan kecil dengan dana sedikit saja akan mampu menggulirkan ekonomi umat. Bahkan perlu ada alokasi investasi untuk pembedayaan dan pengembangan aset wakaf sehingga menjadi wakaf produktif.
Menurut Data Direktorat Zakat dan Wakaf Kemenerian Agama Republik Indonesia tahun 2018 bahwa tanah wakaf di Indonesia seluas 4.359.443.170. Meskipun mayoritas tanah wakaf diperuntukan kepada sarana ibadah, namun masih banyak tanah wakaf produktif dan strategis yang dapat dikembangkan dengan permodalan dari dana jemaah haji. Pengembangan aset wakaf dengan investasi dana haji dapat mengembalikan fungsi wakaf yang produktif seperti pada zaman Rasulullah saw dan para sahabat.
Diyakini bahwa para jemaah calon haji saat melakukan setoran awal biaya penyelenggaraan haji tidak berpikir keuntungan yang akan didapat selama menunggu keberangkatan haji. Hanya saja pengelola dana haji harus memastikan bahwa pemilik dana tidak dirugikan oleh berputarnya waktu karena turunnya nilai akibat inflasi. Penyetor dana awal haji sedari awal sudah bertekad untuk menahan dananya demi mendapat nomor antrian haji tanpa berharap keuntungan dari bagi hasil atau laba dari pengelolaan dananya.
Demi menjaga stabilitas nilai mata uang yang disimpan oleh calon jemaah haji selama menunggu jadwal keberangkatan, alangkah baiknya dana setoran dana haji dikonversi dengan emas. Bisa dibayangkan betapa kecilnya nilai rupiah dengan kurs dollar US dalam dua puluh tahun atau tiga puluh lima tahun ke depan. Berbeda dengan emas yang tak pernah terkena inflasi. Bahkan alangkah baiknya saat investasi, perhitungan modal dan keuntungan dana dinilai dengan kurs emas terlebih dahulu baru kemudian dihitung keuntungannya.
Dengan model hadging emas terhadap keuangan haji kemudian diiinstasi kepada sektor riil keumatan yang produktif maka dapat meminimalisir kerugian calon jemaah haji dari turunnya nilai mata uang rupiah sekaligus dapat menambah tabubgan jemaah haji untuk persiapan pelunasan biaya haji dan bekal haji di Tanah suci. Wallahu a’lam bishshawab.
Oleh :
KH. Cholil Nafis, Lc, MA, Ph.D
(Dosen Ekonomi Syariah Pascasarjana Universitas Indonesia/Pengasuh Pondok Pesantren Cendekia Amanah/Anggota Pleno Dewan Syariah Nasional-MUI/Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat MUI Pusat)