“Karena saya berdarah Madura, mana mungkin saya lupa kepada Madura,”
CHOLILNAFIS.COM, Jakarta-Menurut Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) KH Masduki Baidlowi, kunjungan Kiai Ma’ruf itu memiliki tiga pesan.
“Pertama, Abah (sapaan Kiai Ma’ruf) bersilaturahmi untuk mencari akar dan asal usul nasab. Intinya, beliau ingin menyambung silaturahmi. Abah adalah keturunan Nyai Arusbaya, nenek moyang raja-raja Madura,” kata kiai Masduki dalam pernyataan yang diterima di Jakarta, Jumat (19/10/18).
“Kedua, Kiai Ma’ruf ingin menebar semangat Hari Santri, pada 22 Oktober mendatang, agar sebagai generasi milenial, santri mempunyai cita-cita tinggi. Karena, saat ini zaman digital, maka santri harus melek digital. Mau menjadi ahli agama maupun santripreneur, kita harus melek digital. Karena, kalau tidak, kita akan tertinggal,” ujar alumni Pesantren Sidogiri, Pasuruan itu.
Pesan ketiga, ujarnya, Kiai Ma’ruf ingin menyampaikan pemikiran tentang pentingnya ulama ikut mengurus dan menjaga negara. Ulama berperan penting untuk mengatasi masalah-masalah kenegaraan.
Dalam kunjungannya ke Pendopo Bupati Bangkalan, Madura, dan Pesantren Hidayatulloh Al-Muhajirin, Desa Buduran, Kecamatan Arosbaya, Bangkalan, kembali terungkap sisi lain jalur leluhur Kiai Ma’ruf Amin. Selain memiliki pertalian nasab dengan para ulama besar, Kiai Ma’ruf juga memiliki pertalian keturunan dengan para bangsawan (umara).
Pendopo Bangkalan merupakan simbol pusat pemerintahan, tempat berkiprah priyayi-umara dan Pesantren Al Muhajirin Arosbaya merupakan simbol santri-ulama, sama-sama terdapat jejak nasab Kiai Ma’ruf. Acara di Pesantren Al Muhajirin dihadiri 110 kiai khos se-Madura, 750 alumni santri, para anggota Banser, dan masyarakat umum. Hadir pula Bupati Bangkalan, Kapolres, dan tokoh masyarakat se-Madura.
Di Pesantren Al Muhajirin Arosbaya, Kiai Ma’ruf menerima pedang terbungkus kain, yang diserahkan pengasuh pesantren, KH Linul Qarbih Hamzah Amjad, yang juga keturunan Nyai Arosbaya. “Pedang itu turun temurun dari buyut Arosbaya yang mengandung pesan keberanian untuk meraih kemerdekaan dan membela kebenaran,” ujar KH Cholil Nafis, pengasuh Pesantren Cendekia Amanah, Depok, Jawa Barat, yang juga asal Sampang, Madura.
“Itu berarti, pesantren menyerahkan kepemimpinan para kiai Madura kepada Kiai Ma’ruf untuk diperjuangkan lewat jalur struktural,” kata Kiai Cholil Nafis Pengasuh Pondok Pesantren Cendekia Amanah, Depok ini.
Kiai Ma’ruf lebih sering dikenal sebagai cicit keponakan dari Syeikh Nawawi al-Bantani, penulis produktif banyak kitab, juga cucu keponakan Syekh Arsad Towil, guru para ulama Malaysia, Thailand, Singapura, dan Filipina Selatan, dan ulama lain. Hal itu pernah dipaparkan Iim Imaduddin Utsman, anggota Lembaga Pemangku Adat Kesultanan Banten.
Dari lacakan jejaring silsilah Nyai Arosbaya, semakin luas spektrum leluhur Kiai Ma’ruf. Dari kalangan ulama, terlacak pula jalinan dengan dua dari Sembilan Wali Songo, yakni Sunan Gunung Jati dan Sunan Ampel. Dari jalur umara, ada sambungan dengan Maulana Hasanuddin, Sultan Banten, Prabu Geusan Ulun, Raja Sumedang Larang, dan Sultan Trenggono, putra Raden Patah, pendiri Kesultanan Demak.
“Saya Keturunan Madura,” kata Kiai Ma’ruf di Pesantren Hidayatulloh Al-Muhajirin, Arosbaya, Bangkalan.
“Dari Kiai Demong Plakaran Arosbaya, salah satu Raja di Bangkalan. Beliau mempunyai anak bernama Raden Kiai Pragalba. Cucu beliau yang di Pamekasan, sebelah Timur Bangkalan, diperistri Raja Sumedang Larang yang kemudian diberi gelar Nyai Ratu Harisbaya, diambil dari (kata) Arosbaya. Dari sana kemudian lahir mbah-mbah saya,” Kiai Ma’ruf.
Di Pendopo Bangkalan, pada dinding sisi kiri podium, saat Kiai Ma’ruf memberi sambutan di Pendopo itu, terdapat prasasti berjudul “Silsilah Keturunan Cakraningrat dan Bupati Bangkalan”. Tertulis di sana, Kyai Demong Plakaran adalah cucu Prabu Brawijaya V, Raja Majapahit.
“Karena saya berdarah Madura, mana mungkin saya lupa kepada Madura,” ucap Kiai Ma’ruf.
Putra Kiai Pragalba bernama Suhra Pradoto, menurut Iim Imaduddin Utsman, menikah dengan Ratu Pambayun, putri Sultan Trenggono, Demak, yang adalah cucu Sultan Ampel. Pasangan Suhra Pradoto dan Ratu Pambayun ini melahirkan Ratu Harisbaya atau Nyai Narantoko.
Ratu Harisbaya menikah dengan Prabu Geusan Ulun, Raja Sumedang Larang, dan salah satu putranya, Pangeran Wiraraja I, memiliki cicit bernama Raden Ayu Fathimah, dinikahi TB Mahmud, cicit Maulana Hasanuddin, Sultan Banten, putra Sunan Gunung Djati, Cirebon, cucu Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran. Nasab Kiai Ma’ruf dengan banyak nama besar ulama dan umara’ itu kerap melalui jalur putri. (Edt/Adm).