“Santri dan kiai menjadi satu kesatuan relasi khas dalam sistem pendidikan untuk menggali dan menuntut ilmu, termasuk pengabdian serta perjuangan di masyarakat”
CHOLILNAFIS.COM, Jakarta-Santri. Kata yang kaya makna dan konotasi sosial. Para pakar mendefinisikannya dalam perspektif berbeda-beda. Cc Berg, seorang peneliti asal Belanda misalnya, menyebut kata “santri” berasal dari bahasa India, yakni “shastri” yang artinya ahli kitab Hindu. Hal ini didukung A Steenbrink yang menyebut tradisi dan sistem pendidikan pesantren mirip dengan pendidikan kaum Hindu di India.
Dalam konteks lokal, kata “santri” berasal dari bahasa Jawa, “cantrik”, yaitu seseorang yang setia dan mengikuti ke mana pun gurunya pergi. Definisi ini mungkin lebih mendekati fakta kehidupan santri, pondok pesantren, dan kiai sejak keberadaannya hingga saat ini.
Pesantren terkenal di Jawa Timur, Sidogiri, mendefinisikan santri adalah orang yang berpegang teguh pada kitab Allah, mengikuti Sunnah Rasulullah SAW, mampu menjaga moderasi (wasathi) yang tidak condong ke ekstrem kanan maupun ekstrem kiri. Seluruh sikap dan perbuatannya diikhlaskan kepada Allah SWT.
Ciri utama santri diidentifikasi sebagai sekelompok anak yang belajar di lembaga pendidikan disebut pesantren. Mereka memiliki identitas khusus, seperti sarung dan kopiah yang dididik untuk mendalami ilmu-ilmu agama Islam (tafaqquh fi aldiin) dalam sistem pendidikan tertentu. Mereka tinggal di asrama (boarding) dalam jangka waktu tertentu, yang disebut pondok pesantren dengan lanskap gedungnya include masjid dan sekolah terintegrasi.
Selain penggambaran fisik di atas, hal menarik dari lembaga pesantren adalah pola relasi pendidikan yang diterapkan. Pola pengasuhan dilakukan selama 24 jam oleh tokoh disebut kiai dengan filosofi dan penerapan nilai-nilai sufisme, yaitu bersahaja (sederhana), “nrimo” (qanaah), tawadhu, dan ikhlas. Kehadiran sosok kiai menjadi sangat sentral dalam keseluruhan sistem pendidikannya sehingga memengaruhi sikap dan perilaku santrinya hingga mereka lulus (alumni) sekalipun.
Santri dan kiai menjadi satu kesatuan relasi khas dalam sistem pendidikan untuk menggali dan menuntut ilmu, termasuk pengabdian serta perjuangan di masyarakat. Seluruh sikap, ucapan, dan ajakan kiai bagi santri bagaikan pusaka kehidupan yang harus ditaati, baik saat masih belajar di pesantren maupun lulus dan kembali ke masyarakat. Satu pengikat sistem keyakinan dalam lingkup pesantren adalah konsep “barokah”, yaitu pemahaman akan adanya tambahan kebaikan. Meminjam istilah Arab dengan “ziadatul khair” (adding values) atas semua sikap dan perilaku yang didasarkan pada sikap positif, khususnya kepada kiai.
Bagaimana dengan peran santri bagi bangsa ini? Dalam catatan sejarah, santri adalah bagian penting dari keberadaan republik ini. Mereka terlibat langsung dalam perjuangan fisik untuk meraih kemerdekaan. Saat-saat memperjuangkan kemerdekaan, kaum santri berada dalam garis terdepan yang dipimpin kiai.
(Baca Juga di: https://nasional.sindonews.com/read/1348084/18/santri-pahlawan-1540152504 )
Demikian juga saat persiapan kemerdekaan dalam merumuskan model negara Indonesia menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan aspirasi kaum santri. Bahkan, ketika Indonesia sudah merdeka pun santri andil dalam mempertahankan kemerdekaan melalui Resolusi Jihad. Satu spirit perjuangan membela Tanah Air adalah konsep yang selalu ditanamkan para kiai kepada santrinya bahwa membela Tanah Air itu jihad fi sabilillah (berjuang di jalan Allah).
Kita tahu, banyak kalangan santri telah mendapat gelar pahlawan, seperti Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Wahid Hasyim, Kiai Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Kiai Wahhab Hasbullah, Kiai As’ad Syamsul Arifin, dan banyak lagi. Tentu ini bukan untuk membanggakan gelar pahlawan, tetapi inilah pengakuan negara dan masyarakat terhadap perjuangan kaum santri sekaligus sebagai teladan bagi generasi santri sekarang dan mendatang.
Kepahlawanan Santri
Dulu kaum santri dilekatkan dengan citra miring sebagai kaum sarungan yang kumuh, gudikan, tidak disiplin, dan cenderung terbelakang. Namun, kesan itu mulai memudar, bahkan hilang karena santri tak lagi kampungan yang hanya belajar ilmu agama (akhirat). Apa buktinya? Dalam ranah lokal, nasional, bahkan internasional, santri telah menduduki pos-pos strategis di pemerintahan, birokrasi, dan masyarakat. Fakta ini membantah teori Clifford Geertz tentang strata sosial masyarakat Jawa, yaitu santri, priyayi, dan abangan. Karena faktanya, santri dan priyayi bisa dalam posisi bersamaan.
Ada beberapa hal perlu ditanamkan kepada santri saat ini agar mampu meraih sukses dan menjadi pahlawan bangsa. Pertama, santri perlu menjadi simpul pendidikan karakter yang religius dan nasionalis. Di tengah deru arus globalisasi sering kali menggerus kekuatan buaya dan agama yang menjadikan santri meninggalkan pijakan ajaran pesantren.
Kadang kala arus paham keagamaan transnasional merusak nasionalisme anak bangsa yang tak sedikit mempertentangkan agama dengan nasionalisme. Karena itu, karakter santri harus kokoh berdiri di atas pijakan agama dan nasionalisme. Nilai-nilai kepesantrenan yang menjadikan agama dalam membangun bangsa dan negara harus dijadikan fondasi kuat untuk Indonesia yang maju dan bermartabat.
Kedua, santri harus berani membangun mimpi. Santri dengan bekal ilmu dan wisdom pesantren harus berkeyakinan mampu menjadi apa pun. Jangkauannya bukan hanya lokal atau nasional, tapi juga internasional. Santri telah terbukti mampu menjadi presiden, menteri, eksekutif, yudikatif, legislatif, dan juru damai. Apalagi di era milenial seperti ini santri harus mampu menembus kepahlawanannya di tingkat internasional, seperti di Perserikatan Bangsa-Bangsa, organisasi Islam internasional, dan berperan aktif dalam penyelesaian masalah global. Hal ini dibuktikan banyak santri sudah berperan secara internasional.
Ketiga, melestarikan habit sebagai pekerja keras dan ikhlas. Pada zaman digital yang serba mudah dan terkoneksi tanpa batas acap kali membuat remaja dan pemuda, termasuk santri, menjadi manja dan mudah menyerah. Jelas ini menjadi fenomena yang bisa menyebabkan hilangnya klan kepahlawanan. Karena itu, para santri di manapun berada harus tetap membiasakan diri hidup dengan wisdom pesantren yang mandiri. Meskipun zaman sekarang tak seberat kehidupan santri zaman dulu, tetapi semangat kemandirian dan disiplin dalam menuntut ilmu akan menjadi modal mencapai sukses tertinggi dan mulia.
Santri harus menjadi poros kepahlawanan yang mampu menjadi teladan akan pentingnya memberi kemanfaatan atau kebaikan kepada orang banyak. Semboyannya adalah sebaik-baik santri adalah paling banyak memberi manfaat kepada orang lain. Makin banyak memberi manfaat kepada yang lebih banyak, maka orang makin tak ternilai kemanfaatan ilmunya.
Santri sepatutnya memegang teguh pesan kiai bahwa kapan pun dan di manapun santri berada harus mengamalkan ilmunya serta mengajarkan kepada orang lain untuk menyebarkan kemanfaatan. Mengajarkan tak terkait dengan seberapa banyak bayaran yang diperoleh, tetapi lebih pada pengamalan ilmu dan wisdom pesantren untuk kebaikan dan kemajuan bangsa ini. Itulah kepahlawanan santri. (CN)
Selamat Hari Santri Nasional!