CHOLILNAFIS.COM, Jakarta-Di dalam Alquran tidak diterangkan kapan waktu penyembelihan binatang Hadyu. Dalam hadis juga tidak ditemui secara khusus menentukan waktu penyemblihannya.Namun, Pendapat para ulama berbeda-beda dalam menerangkan kapan waktu menyembelih binatang Hadyu. Menurut pendapat Asy-Syafi’i, waktu menyembelihnya ialah Hari Nahar (10 Zulhijjah) sebelum tahallul dan hari-hari Tasyriq. Ia berdalil dengan hadis Rasulullah saw.
(وَكُلُّ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ ذَبْحٌ (أخرجه أحمد:
“Seluruh hari tasyriq adalah hari untuk menyembelih.” (HR. Ahmad)
Namun, jika tidak dapat disembelih Hadyu pada hari itu, hendaklah disembelih pada hari berikutnya dengan niat mengqadha.
Madzhab syafi’iy membolehkan memotong kambing/unta Dam sebelum tangal 10 Dzulhijjah jika jama’ah haji telah melakukan umroh tamattu’. Al-Imam Asy-Syafi’i berkata dalam kitab al-Um :
وَإِذَا سَاقَ الْمُتَمَتِّعُ الْهَدْيَ مَعَهُ أَوْ الْقَارِنُ لِمُتْعَتِهِ أَوْ قِرَانِهِ فَلَوْ تَرَكَهُ حَتَّى يَنْحَرَهُ يَوْمَ النَّحْرِ كَانَ أَحَبَّ إلَيَّ وَإِنْ قَدِمَ فَنَحَرَهُ فِي الْحَرَمِ أَجْزَأَ عَنْهُ.
“Jika seorang haji tamattu’ membawa hadyu (hewan dam) bersamanya karena mut’ahnya, atau seorang haji qiron membawa hadyu karena qironnya, maka ia membiarkan hadyunya hingga ia baru menyembelihnya tatkala hari nahr maka itu lebih aku sukai. Dan jika ia tiba (sebelum hari Nahr-pen) lalu ia menyembelihnya di tanah haram maka sudah sah” (Al-Umm 2/238)
Madzhab Hanafi :
الدِّمَاءُ فِي الْمَنَاسِكِ عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ فِي وَجْهٍ يَجُوزُ تَقْدِيمُهُ عَلَى يَوْمِ النَّحْرِ بِالْإِجْمَاعِ بَعْدَ أَنْ حَصَلَ الذَّبْحُ فِي الْحَرَمِ وَهُوَ دَمُ الْكَفَّارَاتِ وَالنُّذُورِ وَهَدْيُ التَّطَوُّعِ وَفِي وَجْهٍ لَا يَجُوزُ ذَبْحُهُ قَبْلَ يَوْمِ النَّحْرِ إجْمَاعًا وَهُوَ دَمُ التَّمَتُّعِ وَالْقِرَانِ وَالْأُضْحِيَّةِ وَفِي وَجْهٍ اخْتَلَفُوا فِيهِ وَهُوَ دَمُ الْإِحْصَارِ فَعِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ يَجُوزُ تَقْدِيمُهُ وَعِنْدَهُمَا لَا يَجُوزُ .وَفِي الْمَبْسُوطِ يَجُوزُ ذَبْحُ هَدْيِ التَّطَوُّعِ قَبْلَ يَوْمِ النَّحْرِ إلَّا أَنَّ ذَبْحَهُ يَوْمَ النَّحْرِ أَفْضَلُ قَالَ فِي الْهِدَايَةِ وَهُوَ الصَّحِيحُ
Abu Bakr Al-Haddaad Al-Yamani (wafat 800 H) dari madzhab Hanafi berkata: “Dam di manasik haji ada tiga bentuk. Pertama : boleh dimajukan (penyembelihannya) sebelum hari Nahr (10 Dzulhijjah) berdasarkan ijmak ulama jika penyembelihannya dilakukan di tanah haram Mekah. Dam tersebut adalah dam kafarat, dam nadzar, dan hadyu tathawwu’ (sunnah). Kedua : Tidak boleh disembelih sebemuh hari Nahr berdasarkan ijma’, yaitu Dam haji Tamattu’, dan Qiron, dan udlhiyah (kurban). Ketiga : Mereka memperselihkannya yaitu Dam ihshar (Dam yang wajib disembelih tatkala seorang yang haji atau umroh terhalangi sehingga tidak bisa melanjutkan manasiknya-pen). Maka menurut Abu Hanifah boleh disembelih sebelum hari Nahr, dan menurut Abu Yusuf dan Muhammad Asy-Syaibani tidak boleh. Dalam kitab “Al-Mabshuuth” : Dibolehkan menyembelih hadyu tathowwu’ sebelum hari Nahr, akan tetapi menyembelihnya pada hari Nahr lebih afdhal. Penulis kitab Al-Hidaayah berkata : “Dan ini adalah pendapat yang benar” (Al-Jauharah An-Nayyirah ‘Ala Mukhtashar Al-Quduuri 2/222-223)
Madzhab Hanbali
Ibnu Qudaamah berkata :
فَأَمَّا وَقْتُ إخْرَاجِهِ فَيَوْمُ النَّحْرِ. وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ، وَأَبُو حَنِيفَةَ؛ لِأَنَّ مَا قَبْلَ يَوْمِ النَّحْرِ لَا يَجُوزُ فِيهِ ذَبْحُ الْأُضْحِيَّةَ، فَلَا يَجُوزُ فِيهِ ذَبْحُ هَدْيِ التَّمَتُّعِ
“Adapun waktu menyembelihnya adalah pada hari Nahr, dan ini adalah pendapat Malik dan Abu Hanifah, karena sebelum hari Nahr tidak boleh menyembelih Udhiyah (kurban), maka tidak boleh menyembelih Dam Tamattu’, (Al-Mughni 3/416)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :
واحتج به مالك وأبو حنيفة في ان دم التمتع لا يجوز قبل يوم النحر بالقياس على الاضحية. واحتج أصحابنا عليهما بالآية الكريمة ولأنهما وافقا على جواز صوم التمتع قبل يوم النحر أعني صوم الايام الثلاثة فالهدي أولي ولأنه دم جبران فجاز بعد وجوبه وقبل يوم النحر كدم فدية الطيب واللباس وغيرهما يخالف الاضحية لانه منصوص على وقتها والله أعلم.
“Malik dan Abu Hanifah berdalil bahwa Dam Tamattu’ tidak boleh disembelih sebelum hari Nahr dengan qiyas terhadap udhiyah (kurban). Dan para ulama syafi’iyyah berdalil membantah mereka berdua (Malik dan Abu Hanifah) dengan ayat yang mulia. Dan juga mereka bedua sepakat akan bolehnya puasa Tamattu’ –yiatu maksudku puasa tiga hari (bagi yang tidak mendapatkan dam-pen)- sebelum hari Nahr. Maka al-hadyu (dam Tamattu’) lebih utama untuk boleh disembelih sebelum hari Nahr. Juga karena dam tamattu’ adalah dam jubraan (penambal kekurangan-pen) maka boleh disembelih setelah tiba waktu pengwajibannya (yaitu setelah umroh tamattu’-pen) dan sebelum hari Nahr sebagaimana dam fidyah (karena memakai) minyak wangi, pakaian berjahit, dan selainnya. Hal ini berbeda dengan udhiyah (kurban) karena telah ada nashnya yang menunjukkan akan waktunya yang telah ditentukan pada hari Nahr” (Al-Majmuu’ 7/184)
Ayat yang dimaksud oleh An-Nawawi adalah firman Allah :
فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ
“Maka bagi siapa yang ingin mengerjakan ‘umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat”(QS Al-Baqoroh : 196)
Al-Imam An-Nawawi berkata tentang ayat ini :
أي بسبب العمرة لأنه إنما يتمتع بمحظورات الاحرام بين الحج والعمرة بسبب العمرة
“Yaitu dikarenakan umroh (ia wajib memotong dam tamattu’) karena ia bertamattu’ (bersenang-senang) dengan melakukan hal-hal yang dilarang dalam ihrom antara haji dan umroh disebabkan umroh tersebut” (Al-Majmuu’ 7/184).
Al-Imam Ahmad dalam satu riwayat juga membolehkan menyembelih sebelum hari Nahr. Ibnu Qudamah berkata :
وَقَالَ أَبُو طَالِبٍ: سَمِعْت أَحْمَدْ، قَالَ فِي الرَّجُلِ يَدْخُلُ مَكَّةَ فِي شَوَّالٍ وَمَعَهُ هَدْيٌ. قَالَ: يَنْحَرُ بِمَكَّةَ، وَإِنْ قَدِمَ قَبْلَ الْعَشْرِ نَحَرَهُ، لَا يَضِيعُ أَوْ يَمُوتُ أَوْ يُسْرَقُ
“Abu Tolib berkata : “Aku mendengar Ahmad berkata tentang seseorang yang masuk di kota Mekah di bulan Syawwal sambil membawa hadyu : Orang tersebut menyembelih di Mekah. Jika ia datang sebelum 10 hari Dzul hijjah maka ia menyembelihnya hingga tidak hilang hewan hadyunya atau mati atau dicuri” (Al-Mughni 3/416)
Tempat Pemotongan Dam
Para ulama sepakat bahwa tempat pemotongan hewan Dam haji, baik Dam sunnah atau wajib adalah di tanah Haram. Maka jika pemotongan hewan dilakukan di luar Tanah Haram, seperti di Negara asalnya hukumnya tidak sah. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah saw. dalam sabdanya:
((كُلُّ عَرَفَةَ مَوْقِفٌ، وَكُلُّ مِنًى مَنْحَرٌ، وَكُلُّ الْمُزْدَلِفَةِ مَوْقِفٌ، وَكُلُّ فِجَاجِ مَكَّةَ طَرِيقٌ وَمَنْحَرٌ)) (رواه أبو داود1939،)
“Seluruh `Arafah adalah tempat wuquf. Seluruh mina adalah tempat menyembelih. Seluruh Muzdalifah adalah tempat wuquf. Segenap penjuru Mekah adalah jalan dan tempat menyembelih.”
Nama Hadyu di sandarkan kepada nama Haram, maka harus dilaksanan di tanah Haram, sebagaimana firman Allah SWT.
سورة الحج الآية: 33 ….ثُمَّ مَحِلُّهَا إِلَى الْبَيْتِ الْعَتِيقِ .
“…… kemudian tempat wajib (serta akhir masa) menyembelihnya ialah setelah sampai ke Baitul Atiq (Baitullah)”.