CHOLILNAFIS.COM, Jakarta-Mengganti menyembelih hewan Dam dengan uang seharga hewan Dam yang disadekahkan kepada orang lain hukumnya tidak sah dan tidak boleh. Hal ini berdasarkan dalil yang tercantum dalam al-Qur’an al-Karim dalam surat al-Baqarah ayat 196 yang hanya menyebutkan penyembelihan hewan jika mampu atau berpuasa sepuluh hari sebagai gantinya jika tidak mampu membayar Dam. Dalam ayat tersebut tidak memberi pilihan berupa bersadekah atau memberi makan orang miskin.
Demikian juga yang dilakukan oleh Nabi saw. dan para sahabatnya, ketika melakukan ibadah haji Tamattu’ atau Qiran maka mereka menyembelih hewan sebaga Hadyu atau puasa sepuluh hari. Disamping itu, mengganti penyembelihan hewan sebagai Dam dengan uang seharganya akan mengakibatkan “libralisasi” teks-teks agama, sehingga teks agama bisa dinafikan demi kepentingan masyarakat yang subjektif. Seperti, memperboleh pelaksanaan ibadah haji diganti dengan mengeluarkan seharga biaya haji karena nomor antrian yang panjang atau karena lebih dibutuhkan oleh orang miskin.
Hukum Memindahkan Daging Dam.
Pada dasarnya, maksud utama dari ibadah penyembelihan hewan sebagai Dam haji adalah penumpahan darah hewan saat menyembelih, sedangkan dagingnya adalah turunan berikutnya bukan tujuan utamanya. Oleh karena itu mengganti hewan Dam dengan harta senilainya yang diberikan kepada orang miskin di Tanah Haram tidak sah. Ada beberapa argument yang tidak memperbolehkan mengganti hewan Dam dengan uang: Pertama, pada dasarnya Ibadah adalah haram dan pelaksanaannya harus berdasarkan pentunjuk dari Allah SWT (tauqifi), maka tidak boleh meninggalkan ketentuan syariah tanpa ada dalil syariah. Kedua, mengganti ibadah berdasarkan ijtihad dapat merendahkan nilai teks Syariah dibawah pertimbangan rasional yang bersifat subjektif. Ketiga, mengganti Dam dengan harga senilainya tidak ada isyarat teks bahwa menyembelih hewan Dam adalah untuk memberi maka orang miskin, tetapi lebih pada penyembelihannya.
Adapun daging hewan sebagai Dam yang telah disembelih adalah untuk orang-orang fakir dan miskin penduduk tanah Haram atau pendatang yang hidup di tanah Haram. Namun memenuhi kebutuhan penduduk Haram adalah yang utama. Menurut Imam Nawawi dalam kitab al-Majemu’ yang menukil dari al-Qadhi Husain dalam kitab Al-Fatawa: Jika di tanah Haram tidak terdapat orang-orang misikin maka tidak boleh memindah daging hewan Dam ke daerah atau negara lain. Karenanya, pembagian daging Dam harus ditunggukan sampai penduduk tanah Haram ada yang membutuhkannya. Sebab daging hewan Dam adalah konsumsi hanya untuk penduduk tanah Haram. Beliau menganalogikan daging Dam dengan nadzar menyembelih hewan untuk suatu negara maka tidak boleh dipindahkan ke nagara lain. (al Majmu’: juz 7, h. 417)
Menurut keputusan musyawarah Majelis Ulama Senior (Haiatu Kibar al-Ulama) Arab Saudi Nomor 77 pada 21/10/1400 H. menetapkan bahwa Dam yang disembelih jama’ah haji terbagi tiga:
1. Daging Dam haji Tamattu’ dan Qiran yang disembelih di tanah Haram boleh di bawa ke luar Haram. Dalilnya adalah hadits Nabi saw:
عن جابر بن عبد الله رضي الله عنهما قال : كنا لا نأكل من لحوم بدننا فوق ثلاث منى ، فرخص لنا النبي صلى الله عليه وسلم فقال : ” كلوا وتزودوا ” فأكلنا وتزودنا . صحيح البخاري
Dari Jabir bin Abdillah berkata: Kami tidak pernah memakan daging unta (sebagai Dam) lebih dari tiga hari di Mina. Lalu Rasulullah saw memperbolehkan kepada kami, maka beliau bersabda: (sekarang) makanlah dan hendaklah dijadikan bekal. Lalu kami memakannya dan memjadikannya bekal”
2. Dam yang dikeluarkan sebagai tebusan terhadap pemburuan hewan, melanggar larangan haji, meninggalkan wajib haji maka daging Dam harus didistribusikan kepada penduduk Haram dan tidak boleh dibawa ke luar tanah Haram.
3. Dam yang dibayarkan karena terhalang (ihshar) maka dapat didistribusi di tempatnya atau dibawa ke tempat lain.