oleh: Dr. KH. M. Cholil Nafis, Lc., MA., Ph.D.
(Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat Majelis Ulama Indonesia/
Pengasuh Pondok Pesantren Cendekia Amanah, Depok)
CHOLILNAFIS.COM, Jakarta-Hari Jum’at ini sungguh istimewa bagiku. Ia karena hari paling istimewa dalam Islam, tanggal 1 Juni kelahiranku juga kelahiran Pancasila kita sebagai dasar negara. Lebih istimewa lagi karena bersamaan dengan acara kenegaraan 17 Ramadhan peringatan Nuzulul Qur’an. Hari ini hanya bisa bersyukur atas segala nikmat seraya berdoa semoga selalu dalam lindungan-Nya.
Di tahun politik ini Indonesia berada pada pase pembuktian apakah benar-benaar pancasilais dan heroik atau oportunis pengkhianat. Munculnya gerakan anti pancasila dan ingin mengubahnya dengan dasar agama, komunis atau libral adalah tantangan berat bagi eksistensi Pancasila dan persatuan Indonesia. Kini Pancasila di kalangan warga negara nyaris tak pernah terdangar sebagai dalil pandangan hidup, falsafah bernegara dan sistem nilai berbangsa.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai nilai sejarahnya. Termasuk melestarikan capaian peradaban bangsa dan melanjutkan cita-cita para pahlawannya. Indonesia telah berhasil mencapai peradaban kemanusiaan dalam membangun dasar dan sistem negara sehingga menyatukan bangsa Indonesia dalam kesatuan Republik Indonesia. Bayangkan Indonesia yang besar: terdiri dari 17508 pulau dan pendudunyak 258 juta, lebih dari 300 bahasa, mengakui enam agama dan kepercayaan, dan terdiri dari bermacam-maca suku dan golongan namun dapat disatukan dalam satu negara.
Kebinekaan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Piagam Madinah (al-shahifah al-Madindah) sebagai konsitutisi pertama dalam Islam mengajarkan kebhinekaan. Bahwa umat Islam, Kristen dan Yahudi di Madinah saat itu bersatu padu dalam membela negara dan patuh pada konsensus nasional Madinah. Siapa pun yang melakukan pembangkangan terhadap konstitusi Madinah maka akan diperangi bersama-sama tanpa melihat suku dan agamanya.
Indonesia punya konstitusi yang mirip dengan konstitusi Madinah, bahwa setiap warga negara dijamin untuk menjalankan ajaran agama dan tidak boleh menyiarkan agama dengan menistakan agama lain. Ini termaktub dalam UUD 1945, Pasal 28E Ayat (1), (2), dan (3); Pasal 28I Ayat (2); dan Pasal 29 Ayat (2). Pasal 28E Ayat (1) menjamin hak setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya.
Piagam Madinah menanamkan nilai nasionalisme kolektif tanpa melihat keyakinan agamanya. Dalam pasal 37 menyebutkan tentang umat Islam, umat Yahudi dan Nasrani untuk mengorbankan harta dan jiwanya untuk memerangi orang menyerang keutuhan negara Madinah. Konstitusi Madinah menempatkan nasionalisme sebagai kesadaran kolektif demi keutuhan negara.
Penerimaan Pancasila sebagai asas NKRI ini, juga terinspirasi dari Piagam Madinah yang dibuat Rasulullah SAW. untuk menyatukan semua golongan, tanpa membedakan agama, suku dan ras, demi membangun negara Madinah yang aman dari serangan musuh, tentram, damai dan sejahtera.
Jika Madinah dipimpin oleh Rasulullah bisa menjadi embrio gerak pencerahan Islam (the renaisance of Islam) yang membuana ke seluruh benua, sehingga lahir kejayaan peradaban Islam selama 6 abad lebih tatkala Barat yang saat itu tertidur lelap dalam keterbelakangan.
Bagaimana masa depan peradaban bangsa Indonensia dengan segala tantangannya saat ini? Kita meyakini bahwa Indonesia dengan Pancasila adalah kesepakatan final yang tidak perlu diperdebatkan lagi karena ini merupakan hasil ijtihad dan kesepakatan dari para ulama yang harus dijaga dan terus diperjuangkan agar dapat menggapai puncak kesejahteraan bersama.
Untuk mencapai ke sana, yang menjadi syarat utamanya adalah ketika kita mampu menegakkan spirit Piagam Madinah, yaitu al-’Adl dan al-Ihsan seperti yang tercermin dalam al-Quran surat An-Nahl: 90.
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran” (QS. An-Nahl [16]: 90).
Apa itu al-‘Adl (keadilan) dan al-Ihsan (kebajikan)? Sayyidina Ali bin Abi Thalib mendefinikan ‘Adil dengan wadh’u syaiin fi mahallihi, meletakkan sesuatu pada tempatnya. Di sini, keadilan identik dengan kesesuaian dan proporsional. Karena itu, keadilan tidak mengharuskan persamaan kadar dan syarat bagi semua bagian unit agar seimbang. Bisa jadi satu bagian berukuran kecil atau besar, sedangkan kecil dan besarnya ditentukan oleh fungsi yang diharapkan darinya. Jadi, seruan menegakkan keadilan harus terwujud di tengah masyarakat.
Untuk Indonesia yang lebih baik, keadilan mesti ditegakkan dalam segala bidang kehidupan, baik hukum, ekonomi, maupun kehidupan sosial politik. Keadilan hukum itu berarti sama rata dan sama rasa, keadilan ekonomi itu berarti sama rasa tapi tak sama rata sedangkan keadilan sosial politik adalah sama rata tapi tak sama rasa. Keadilan harus ditegakkan dimulai dari pikiran, sikap, dan perilaku konkrit dalam berbangsa dan bernegara.
Keadilan tidak akan pernah muncul jika setiap kita tidak menyadari bahwa adil itu kewajiban setiap orang. Adil harus dipraktikkan, bukan diteorikan, apalagi hanya jadi bahan diskursus di media sosial. Khusus bagi pihak yang menerima amanah, yaitu para pemimpin negeri ini harus benar-benar memahami tentang nilai keadilan dan terus berupaya agar keadilan benar-benar dapat ditegakkan.
Bagaimana dengan al-Ihsan? Kata ihsan lebih tinggi daripada kata al-khair. Imam Thabathaba’i menganggap ihsan adalah kebajikan kepada orang lain, dalam setiap situasi. Maksudnya adalah membalas kebaikan dengan yang lebih baik, dan membalas keburukan dengan kebaikan. Bahkan untuk berbuat baik tak menunggu dan tak mengharapkan kebaikan orang lain karena landasannya adalah iman dan Islam.
Inilah sikap ber-Islam yang paling sempurna. Jika sikap ini sudah tertanam dalam diri seorang muslim dan umat manusia, tentu sudah tidak ada lagi kejahatan dan kezaliman di muka bumi. Untuk bisa mewujudkan hal ini, tentu dibutuhkan spirit persaudaraan (ukhuwah). Sebagaimana Nabi tatkala hijrah dan membangun Madinah yaitu didasarkan atas prinsip persaudaraan dan persatuan untuk menjembatani keragaman agama, suku, dan golongan yang ada.
Di Indonesia, patut kiranya kita merevitalisasi konsep “trilogi ukhuwah” yang awalnya dikenalkan oleh tokoh Nahdlatul Ulama (NU), KH Ahmad Shiddiq (1926-1991). Konsep trilogi ukhuwah adalah menyatukan antara ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama umat Islam), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan dalam ikatan kebangsaan) dan ukhuwah basyariyah (persaudaraan sesama umat manusia).
Melalui corak keber-agamaan khas Islam di Indonesia yang moderat (wasathi) dengan modal trilogi persaudaraan yang kokoh, kita pasti mampu membangun dan memajukan NKRI yang lebih adil dan sejahtera dengan semangat jiwa ihsan, serta menjadi kiblat bagi dunia yang karena berhasil mendialogkan secara dinamis antara agama dan Negara.
Terakhir saya ingin mengutip ungkapan al-Mawardi dalam bukunya Al-Ahkam al-Sulthaniyah yang menjelaskan bahwa kepemimpinan dengan berbagai varian sebutan dan istilahnya, baik bernama kerajaan, imamah atau republik adalah untuk meneruskan misi kenabian dalam memelihara agama dan menjaga stabilitas sosial:
الإمامة موضوعة لخلافة النبوة في حراسة الدينِ وسياسة الدنيا
“Imamah adalah sebutan bagi pengganti kenabian dalam menjaga Din (Islam) dan mengurus urusan dunia.” (Al-Mawardi, Al-Ahkaam As-Sulthoniyyah wa Al-Wilayat Ad-Diniyyah, hlm 3)
Mudah-mudah negara kita, Indonesia selalu mengejewantahkan ajaran dan nilai al-Qur’an al-Karim, senantiasa menegakkan keadilan, dan bersikap ihsan, terpelihara jalinan hidup rukun nan sejahtera dalam persaudaraan dan persatuan di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Amin ya Rabb. (Adm)