CHOLILNAFIS.COM, Jakarta-Alhamdulillah, hari ini tiba bulan Ramadan yang kita tunggu-tunggu. Umat ada yang fokus menyiapkan rohani dan fisik untuk menyambut Ramadan.
Lalu bagaimana Rasulullah SAW menyiapkan dan menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan? Sejak usai menjalankan ibadah puasa Ramadan dan melanjutkan puasa enam hari di bulan syawal, Rasulullah SAW langsung menyiapkan diri untuk menyambut bulan Ramadan berikutnya.
Rasulullah SAW rutin puasa Senin dan Kamis. Ketika memasuki bulan Rajab, dua bulan menjelang bulan puasa, Rasulullah berdoa, “Allahumma barik lana fi rahaba wa sya’ban wa ballighna Ramadhan (Ya Allah berkahilah di bulan Rajab dan bulan Sya’ban serta sampaikan (umur) kami di bulan Ramadan).”
Rasulullah memerintahkan umatnya agar memulai puasa di bulan Ramadhan karena telah melihat bulan, dan mengakhiri bulan Ramadhan untuk berlebaran karena melihat bulan. Jika bulan tak terlihat karena mendung, sempurnakan hitungan hari pada bulan Syakban atau Ramadhan sampai tiga puluh hari.
Hadis riwayat Abu Daud dan An-Nasa’i ini menggambarkan betapa berhati-hatinya Rasulullah dalam menghitung masuknya Ramadan dan selesainya kewajiban berpuasa. Sehingga karena tak bisa melihat bulan, hitungan harinya disempurnakan menjadi tiga puluh seperti Ramadan tahun ini. Dalam hitungan kalender hijriyah hanya berkisar antara 29 hari atau 30 hari.
Perbedaan sudut pandang muncul. Apa yang dimaksud dengan melihat bulan sebagai penentu masuknya Ramadan dan mulainya berlebaran?
Sebagian ulama ada yang menganggap melihat bulan itu harus langsung menggunakan mata telanjang. Biasanya bulan dapat dilihat (imkanurru’yah) manakala ketinggian hilal di atas dua derajat.
Pendapat ini mengartikan cara melihat bulan yang diajarkan oleh Hadits adalah bersifat ta’abbudi (ibadah) sehingga tak dapat diterjemahkan secara rasional menggunakan ilmu astronomi saja. Adapun pendapat lain, melihat bulan itu bisa menggunakan mata telanjang dan dapat juga dilihat menggunakan ilmu astronomi (falak).
Menurut pendapat kedua ini, masuknya Ramadan dan mulai lebaran dapat ditentukan menggunakan ilmu falak, yaitu wujudul hilal (adanya bulan) di ufuk meskipun tak harus dilihat oleh mata karena mendung atau karena dibawah dua derajat.
Bulan kesabaran
Ketika hendak memasuki Ramadan, Rasulullah menyampaikan kotbah pada hari terakhir bulan Sya’ban. “Wahai manusia telah datang kepada kalian bulan yang agung, bulan penuh berkah, di dalamnya ada malam yang lebih baik dari seribu bulan. Allah menjadikan puasa-Nya wajib, dan qiyamul lail-Nya sunnah. Siapa yang mendekatkan diri dengan ibadah sunnah maka seperti mendekatkan diri dengan ibadah wajib di bulan yang lain. Siapa yang melaksanakan ibadah wajib maka seperti melaksanakan 70 kewajiban di bulan lainnya.”
Rasulullah menyebut Ramadan adalah bulan kesabaran, dan balasannya adalah surga. Ramadan adalah bulan solidaritas, dan bulan ditambahkan rezeki orang beriman.
Siapa yang memberi makan orang berpuasa, maka diampuni dosanya dan dibebaskan dari api neraka dan mendapatkan pahala seperti orang-orang yang berpuasa tersebut tanpa dikurangi pahalanya sedikitpun.
Perlu mengisi Ramadan dengan berbagai macam ibadah mahdhah (vertikal) seperti menjaga ucapan, organ tubuh dan hati dari maksiat, seraya melaksanakan ibadah yang berefek sosial kemasyarakatan (horizontal/muta’addiyah) seperti berbagi untuk berbuka dan bersedekah.
Tekaf untuk menjalankan ibadah puasa Ramadan harus dilakukann melalui niat di malam harinya. Berbeda dengan ibadah puasa Sunnah yang bisa diniatkan di pagi hari sebelum masuk waktu zuhur.
Oleh karena itu, Rasulullah sangat menganjurkan (sunnah muakkadah) untuk makan sahur dan niat di malam harinya. Rasulullahbersabda, “Bersahurlah kalian, karena sahur mendatangkan barakah.” (HR. Ahmad). (Adm)