CHOLILNAFIS.COM, Jakarta-Ramadhan merupakan momen yang tepat untuk menghijrahkan diri, atau paling tidak, memperbaiki diri dalam banyak hal. Ini yang diyakini sebagian besar umat Islam, terlebih terkait dengan makna QS: Al Baqarah: 183, yang intinya tujuan berpuasa adalah agar para pelakunya menjadi orang yang bertakwa.
Namun pada kenyataannya, seringkali momen tersebut menjadi sebatas pengulangan proses yang sama dari tahun ke tahun. Artinya nyaris tidak ada pertambahan yang signifikan dalam kuantitas dan kualitas ibadah, belum lagi masalah akhlak dan wawasan keberagamaan kita. Grafik peningkatan yang lumayan, hanya bisa dirasakan pada momen Ramadhan hingga tak lama setelah Idul Fitri berlalu. Selebihnya, kita kembali menetapi kondisi keberagamaan yang seperti semula, biasa saja.
Sebagai contoh dari sisi ibadah. Pada bulan Ramadhan, terjadi peningkatan kuantitas jamaah shalat di masjid dan mushala, meski inipun hanya terjadi di awal-awal saja dan di akhir bulan tambah surut. Secara pribadi, kuantitas dan kualitas ibadah tilawah dan tadarus Al-Quran juga meningkat. Target satu hari satu juz lebih mudah terlampaui. Pengikut berbagai kajian bertema keislaman pun menjadi ramai, dari yang biasanya harus ‘diseret-seret’, pada bulan Ramadhan, jamaah datang dari berbagai tempat. Dengan demikian, seharusnya pemahaman keberagamaan tentang fikih, akhlak, dan ilmu-ilmu Al-Quran serta keislaman meningkat.
Berangkat dari hal ini, sudah pernahkah kita menguji sejauh mana kita mengalami peningkatan kualitas pemahaman dan pelaksanaan ibadah serta sikap beragama, terutama setelah selesai Ramadhan hingga menuju Ramadhan berikutnya?
Misalnya dari segi ibadah. Sejauh mana kita mempertahankan, atau kalau bisa, meningkatkan tradisi Ramadhan, selepas Lebaran? Berapa lama kita bertahan dengan ibadah Qiyamul Lail dalam seminggu di luar Ramadhan? Berapa target membaca Al Quran yang sanggup kita kejar di hari-hari biasa? Berapa kali dalam seminggu kita menyempatkan diri datang ke kajian Keislaman?
Kemudian dari segi fikih, berapa persen dari pemahaman fikih ibadah dan muamalat yang sanggup kita pertahankan dan tingkatkan selepas Ramadhan? Masihkah kita memburu keutamaan ibadah dan muamalah dengan mengambil fikih yang lebih berhati-hati, ataukah kita kembali mengambil ‘yang mudahnya saja’ karena kembali berhadapan dengan kesibukan yang bersifat duniawi?
Evaluasi yang berikutnya adalah tentang akhlak dan sikap keberagamaan kita. Ramadhan yang pada esensinya mengarahkan kita untuk menjadi lebih takwa, lebih meningkatkan kadar kebaikan akhlak dan sikap, memberi semangat kepada kita untuk memperbaiki akhlak dan sikap keberagamaan. Sebut saja tentang sikap kedermawanan, sikap toleran, memperpanjang silaturahim, berbuat baik kepada orang tua, dan memuliakan tetangga. Ramadhan secara umum mengajarkan kita lebih lembut dan menyebarkan banyak pesan damai kepada umat.
Ketika Ramadhan berlalu, masihkah sikap dan perilaku itu kita pelihara, bahkan mendarah daging pada diri kita, melekat seutuhnya pada diri kita? Iman memang bisa naik dan turun, namun terpenting adalah niat dan tindakan kita untuk senantiasa meningkatkan, atau minimal, mempertahankannya.
Jangan sampai benturan-benturan pasca Ramadhan membuat kita kembali stagnan dengan dalih iman yang fluktuatif tadi. Semoga kita termasuk orang-orang yang dengan sepenuh kesadaran memilih menjadi lebih baik kapanpun dan dimanapun, bukan berdalih wajar iman turun karena Ramadhan telah berlalu.
Allah SWT. telah mengingatkan kita, “Maka Allah telah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”. (QS: Al-Syams 91:8-10)
Semoga “raport” Ramadhan kita yang sudah baik, bisa terus kita pertahankan bahkan tingkatkan sesudahnya. Sebab pengujian kadar keberagamaan tidak harus terhenti hanya di bulan Ramadhan, namun akan tetap berlangsung seumur hidup kita. (Adm)