CHOLILNAFIS.COM, Jakarta-Ikhlas berarti tanpa pamrih. Apa yang dilakukan semata-mata karena Allah SWT. Bahkan menurut kaum sufi, ikhlas identik dengan cinta. Ketika beribadah bukan karena mengharapa pahala atau taku dosa sehinggan dapat Surg dan selamat dari Nerak. Namun ibadahnya semata-mata karena ingin mendekatkan diri kepada Allah SWT. Ia rela masuk neraka meskipun rajin beribadah asalkan Allah SWT meridhainya.
Ibandah kepada Allah rentan ternodai oleh rasa pamer (riya’), sehingga tak bernilai apapun di mata Allah SWT. Seperti shalat dengan suara bacaan keras agar dilihat dan dinilai oleh orang lain, juga saat menjadi imam dipanjangkan agar makmum memujinya, padahal saat shalat sendiri (munfarid) sangat cepat. Maka shalatnya hanya menggugurkan kewajiban saja tanpa memberi manfaat yang dampak untuk mengontrol dari berbuat munkar dan keji.
Mengeluarkan zakat dan bersadekah dengan cara mengundang orang-orang miskin antri di rumahnya agar dikagumi oleh banyak orang, atau sengaja memberi sumbangan untuk menarik dukungan agar terpilih sebagai pimpinan maka zakat dan sadekah tidak bernilai pahala sedikitpun. Demikian juga orang yang menunaikan ibadah haji yang tujuannya untuk mendapat gelar “Pak Haji”, semata karena ingin tahu tanah suci dan kebanggaan diri maka hajinya tidak bernilai sedikitpun di mata Allah SWT.
Ibadah puasa lebih terlindungi dari noda pamer dan bangga-banggan dengan ibadah. Saat seseorang menjalankan ibdah puasa tidak dapat dibedakan dengan yang sedang tidak berpuasa jika dalam keadaan sama-sama tidak makan dan tidak minum. Seseorang dapat diketahui sedang berpuasa jika dirinya menyatakan atau memberitahukan dirinya sedang berpuasa.
Puasa mengajari intim dengan Allah SWT. Ketika yang berpuasa sedang berkumur, lalu ia menelannya maka tidak ada orang yang mengetahuinya. Demikian juga orang makan di warung tertutup atau di rumahnya sediri dengan tutup pintu maka tidak ada orang yang mengetahuinya. Namun karena merasa Allah selalu melihatnya, maka ia tidak makan, tidak minum dan menahan nafsunya karena semata-mata merasa dipantau oleh Allah SWT.
Allah SWT menyebutkan dalam hadits qudsi-Nya: “Semua perbuatan anak adam adalah untuk mereka sendiri, kecuali puasa adalah untuk Ku dan Aku yang akan membalasnya”. Apakah berarti shalat, zakat dan haji bukan untuk Allah atau semata-mata hanya untuk kebaikan manusia saja? Tentu ini menunjukkan bahwa ibadah-badah itu rentan terhadap “penyekutuan” kepada selain Allah SWT. karena lebih terbuka. Sedangkan ibadah puasa lebih spesial dan khusus, sehingga Allah SWT berjanji akan membalasnya sendiri.
Jika ada seseorang yang rajin shalat namun juga tak dapat mengontrol diri berbuat maksiat dan keji, jika ada seseorang yang berzakat, bersadekah juga berwakaf tetapi tidak mempunyai kepekaan dan kepedulian sosial, dan jika jemaa’ah haji tidak memberi perubahan prilaku dan peningkatan keimanan maka tentunya dilihat dari kadar keikhlasan dalam ibadahnya.
Ikhlas hanya ada di dalam hati. Jika seseoranya menyatakan dan memberi tahu bahwa dirinya ikhlas maka tidak bisa langsung disebut mukhlis (yang ikhlas). Sebab ikhlas itu ada pada dirinya dan Allah yang maha mengetahuinya. Biasanya keikhlasannya tercermin dalam perbuatannya dan efeknya. Allah mennjanjikan pahala yang tak terhingga bagi orang yang ikhlas beriman dan beribadah, sehingga kelak di hari penghitungan amal akan ditolong oleh Allah SWT. yang saat itu manusia benar-benar membutuhkan pertolongan.
Ikhlas hanya dapat diraih dengan cara mengontro diri dan menolak ajakan hawa nafsunya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.: “Orang yang sempurna akalnya ialah yang mengoreksi dirinya dan bersedia beramal sebagai bekal setelah mati. Dan orang yang rendah adalah yang selalu menurutkan hawa nafsunya. Disamping itu, ia mengharapkan berbagai angan-angan kepada Allah.” (HR. Tirmidzi). (Adm)