CHOLILNAFIS.COM, Jakarta- Acara Wisuda Khatmil Qur’an Pondok Pesantren Pandanaran Yogyakarta dihadiri oleh Pengasuh Pesantren Cendekia Amanah, Depok yang juga Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, KH M Cholil Nafis “Walhamdulillah di Yogyakarta sempat silaturrahim ke pesantren Sunan Pandanaran dalam rangka khotmil Qur’an wisudawan sebanyak 1.600-an santri penghafal al-Qur’an 30 juz dan juz 30” ujar Kiai Cholil disela-sela acara tersebut, Kamis, 03/05/2018.
Menurut Kiai muda ini para penghafal al-Qur’an adalah generasi masa depan yang akan menjadi tonggak kokohnya bangsa dan agama “Inilah generasi qur’ani harapan di masa yang akan datang”. Mereka ikhlas belajar dan menghafal hanya ingin menjadi ahli al-Qur’an tanpa ada cita-cita lain yang sifatnya duniawi. Tapi realitanya mereka penghafal al-Qur’an tak pernah hidupnya sengsara. “Sampai detik ini saya belum ketemu hidup penghafal al-Qur’an yang tak bahagia”, Lanjut Kiai Cholil.
Dalam taushiyah di hadapan 1600-an santri penghafal al-Qur’an kiai Cholil berpesan tiga hal kepada santri-santri penghafal al-Qur’an agar melanjutkan studinya pada pemahaman dan pengamalannya. Kelak mereka bisa menjadi ulama, cendekiawan, doter, asitek dll. Di era sekarang ini banyak godaan bagi pembawa misi al-Qur’an dan perjuangan agama Islam:
Pertama, godaan dalam menghadapi arus pemikiran. Pemikiran yang menghantui ajaran Islam saat ini ada ekstrimisme, baik yang kanan maupun yang kiri. Karena tidak memahami Islam dengan benar sehingga tak bisa menjadi umat yang wasathi maka muncullah muslim libral dan muslim radikal.
Kiai Cholil memaparkan, bahwa yang Libral ke kiri-kirian sering kali karena merasa pintar sehingga mengubah makna al-Qur’an karena dipikirannya tak sesuai. “Biasanya hal ini akibat dari merasa pintar dan kurang iman” kata kiai Cholil. Sedangkan yang radikalisme ke kanan-kananan karena pemahaman yang literalis dan tekatualis sehingga memahami agama secara tekstual. Bahkan tak jarang mengkafirkan yang lain karena tak tunggal dalam memahami agama yang sebenarnya masih dalam wilayah perbedaan (ikhtilaf) bukan penyimpangan (inhiraf).
Lain lagi pemikiran yang menyimpang, dimana aliran sesat ini juga subur di Indonesia. Apapun pemikiran dan paham keagamaan di Indonesia selalu ada pengikutnya. Itulah Indonesia sebagai pasar ideologi nasional dan transnasional. Al-Qur’an seringkali menjadi legitimasinya karena akibat pemaknaan yang salah.
Kedua, ekonomi yang melilit dalam kehidupan seseorang kadang menjadi lupa dengan al Qur’an yang telah dihafalnya. Harapan kiai Cholil khususnya umat Islam bagi para penghafal al Qur’an agar dapat memilih profesi yang seiring dengan kewajiban menjaga al-Qur’an di qalbunya. “Bahkan saat memilih jodoh pun harus ada komitmen agar terus menjaga dan mudawamah dengan al-Qur’an” ujarnya di pesantren Pandanaran pada Kamis, 03/05/2018. Kiai Cholil Menegaskan bahwa jangan sampai karena himpitan ekonomi menjadikan penghafal al-Qur’an yang pendapatnya tergantung pendapatannya.
Ketiga, Politik menjadi tantangan bahkan hambatan pejuang Islam. Acapkali kesibukan berorganisasi dan politik melalaikan tujuan awal perjuangan. Awalnya hanya untuk mengimbangi dinamikan sosial, tapi selanjutnya kadang terhanyut iming-iming politik yang bertolak belakang dengan misi perjuangan al-Qur’an. “Tak terkecuali penghafal al Qur’an menjadi lupa untuk menjaganya bahkan kadang lengah untuk mengamalkannya” tegas Kiai Cholil pada acara wisuda Khatmil Qur’an di Pondok Pesantren Pandanaran Yogakarta.
Diakhir tausiyahnya Kiai Cholil Nafis berharap kepada para Hafiz al-Qur’an untuk tetap berpegang teguh kepada al-Qur’an sebagai pembawa misi Qur’ani, “Harapan besar saya kepada penghafal al-Qur’an untuk menjadi hamilul qur’an, yaitu pembawa misi al Qur’an untuk membangun peradaban di alam semesta, wallahu walit taufiq wal hidayah” Ujar Kiai Cholil. (Adm)
ttd
KH. M. Cholil Nafis, Lc., MA., Ph.D
(Pengasuh Pesantren Cendekia Amanah)