Pertanyaan :
Ustadz, alhamdulillah pada tahun ini mayoritas kaum muslimin di Indonesia memulai puasa secara bersama-sama, kecuali kelompok kecil yang tidak mengikuti itsbat pemerintah. Yang ingin saya dapat penjelasan, apa sebab perbedaan mengawali dan mengakhiri Ramadlan ? Dan apa solusinya untuk menyamakannya ? Atas penjelasan ustadz, saya haturkan terima kasih.
Yudi Suzana, Jl. Embong sawu 64 Surabaya
Jawaban :
Pak Yudi Suzana yang saya hormati, benar, kita bersyukur kepada Allah SWT bahwa mayoritas kaum muslimin terutama ormas islam besar ( NU, Muhammadiyah dll.) di Indonesia memulai puasa sesuai itsbat dari pemerintah (menteri agama), yaitu hari Senin tanggal, 27 Oktober 2003, kecuali beberapa ikhwan kita, Hizbuttahrir dll., yang memulai puasa hari Ahad 26 Oktober 2003 M. karena mengikuti rukyatnya negara lain. Konon, hanya di Indonesia yang kadang tidak bersama dalam memulai dan mengakhiri Ramadlan, sedangkan di negara muslim lain kaum muslimin dalam satu negara selalu bersamaan dalam mengawali dan mengakhir Ramadlan.
Apa penyebab perbedaan tersebut ? Ada dua penyebab yang mengakibatkan perbedaan dalam menentukan awal dan akhir Ramadlan. Pertama, masalah ‘rukyat dan hisab’; Kedua, masalah ‘wihdatul mathla’ dan ikhtilaful mathali’. Rukyat dan hisab, maksudnya, sebagian kaum muslimin berpijak pada rukyatul hilal bilfi’li, melihat bulan secara langsung dalam menentukan awal dan akhir Ramadlan. Sesuai apa yang disabdakan dan dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. (shumuu lirukyatih wa afthiruu lirukyatih…). Sebagian yang lain menggunakan al-hisab al-falaky al-qoth’i, artinya menggunakan ilmu astronomi yang pasti. Karena dianggap lebih akurat dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
Adapun wihdatul mathla’ artinya, centra terbit bulan juga disebut rukyat internasional atau rukyat global, maksudnya di dunia itu adalah satu kesatuan wilayah rukyat, jika di suatu negara kaum muslimin sudah melihat bulan maka semua kaum muslimin di semua negara harus puasa tanpa memperhatikan jarak wilayah antar negara, karena di zaman Rasulullah semua muslimin ikut rukyatnya Rasul dan tidak ada yang berbeda di semua jazirah arab. Sedangkan Ikhtilaful Mathali’ artinya perbedaan terbitnya bulan. Maksudnya setiap negara punya otoritas sendiri untuk melihat bulan. Walaupun di suatu negara sudah melihat bulan maka negara lain yang belum melihat tidak harus ikut puasa, ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan sahabat Kuraib yang menjelaskan perbedaan memulai puasa anatara Syria dan Madinah karena berbeda waktu melihat bulan.
Apa mungkin disatukan perbedaan itu dan bagaimana solusinya ? Insya Allah mungkin, jika setiap ormas islam dan kaum muslimin di nusantara ini punya niat yang satu, yaitu merakit ukhuwah dan membina kesatuan dan persatuan. Caranya ? Ada dua cara yang penulis tawarkan : Pertama, kita mengacu pada kaidah ushul fiqh ‘ keputusan hakim menghilangkan perbedaan’. Maksudnya semua ormas islam dan kaum muslimin semua tunduk patuh terhadap keputusan hakim (menteri agama), tentu sebelum memutuskan hendaknya menteri agama mengakomodir pendapat beberapa tokoh dan ormas yang berkembang. Kalau semua konsisten terhadap komitmen ini insya Allah akan sama dalam menentukan awal dan akhir Ramadlan, sebagaimana yang dilakukan oleh negara-negara muslim lainnya. Namun sayang, tidak semua kaum muslimin di Indonesia ‘percaya’ dengan pemerintah yang mengakibatkan tidak semua taat terhadap keputusan pemerintah (menteri agama). Kalau ini tidak mungkin, ada alternatif ; kedua, yaitu menganut ‘wihdatul mathla’. Artinya pemerintah, ormas islam dan kaum muslimin tidak usah membuat tim rukyat dan hisab sendiri cukup mengikuti rukyat yang dilakukan oleh negara lain di jagad ini, kalau di suatu negara ada yang melihat bulan maka kita di Indonesia tinggal mengikutinya tidak usah repot-repot. Tetapi nampaknya cara ini tidak dilaksanakan oleh semua negara-negara muslim. Buktinya pada awal Ramadlan ini walau Yordania menyatakan sudah melihat bulan pada malam Ahad dan mereka memuali puasa pada hari Ahad ternyata negara-negara teluk seperti Saudi Arabia, Kuait, Emarat Arab dll. memulai puasa pada hari Senin, karena baru melihat bulan pada malam Senin dan kebetulan bersamaan dengan Indonesia.
Tampaknya, diperlukan kedewasaan dan kesadaran dari setiap muslim di Indonesia untuk menemukan solusi yang tepat dalam menentukan awal dan akhir Ramadlan. Namun ini harus segera dicari kesepakatan yang dapat dilaksanakan secara konsisten agar masyarakat tidak bingung dan tidak jadi bahan olok-olok musuh islam. Sampai kapan? Wallahu a’lam bisshawab