oleh KH. M. Cholil Nafis, LC. Ph D
Dosen Ekonomi dan Keuangan Syariah Universitas Indonesia
CHOLILNAFIS.COM, Jakarta-Pada mulanya manusia hidup dapat memenuhi kebutuhannya sendiri dari apa yang ada di sekitarnya yang Allah SWT sediakan di alam raya. Semua kebutuhan manusia secara tradisional dan mandiri dapat dipenuhi oleh dirinya sendiri tanpa membutuhkan bantuan orang lain. Seperti Nabi Adam as. dan Siti Hawa pada awal mula berada di muka bumi dapat memenuhi makan dan minum juga pakaian secara tradisonal dari alam yang Allah SWT anugerahkan. Namun setelah manusia berkembang dan mulai banyak jumlahnya dari keturunan Nabi Adam as. maka mulai beragam kebutuhan manusia yang masing-masing tak mungkin memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya dari hasil kerje sendiri tanpa bantuan atau saling berbagi dari hasil pencaharian dan produksi orang lain.
Terbatasnya kemampuan manusia untuk mencari dan memproduksi kebutuhan sendiri maka membutuhkan dari hasil karya dan harta yang dimiliki oleh orang lain sehingga muncul pola kehidupan yang saling membutuhkan. Konsekuensinya terjadi pola ekonomi yang saling membutuhkan dari harta yang dimiliki. Zaman inilah yang menimbulkan kehidupan saling tukar menukan kepemilikan harta masyarakat demi untuk memenuhi kebutuhannya. Hal inilah yang menandai transaksi dengan cara barter.
Namun, seiring dengan kompleksitas kebutuhan manusia dan beragam produksi maka transaksi barter banyak kelemahan. Yaitu tidak selamanya barang-barang kebutuhan dapat saling ditukarkan sesuai dengan yang diinginkan oleh kedua belah pihak, barang yang akan dipertukarkan tidak selalu sepadan dalam jumlah dan harganya, sulit menentukan standar nilai. Inilah yang menciptakan double coincidence of wants. Dalam kompleksitas kebutuhan manusia dan baranekaragam barang kebutuhan untuk memenuhi hajat hidup diperlukan pola transaksi yang lebih luas dan memudahkan. Karenanya diperlukan alat tukar untuk memudahkan transaksi yang beragam bentuknya dalam memenuhi beberapa kebutuhan. Masyarakat merasa perlu untuk memgubah dari cara transaksi barter dengan menggunakan alat tukar. (Mujahidin, (2007: 46).
Barang yang dapa menjadi alat tukar hanya sesuatu yang sangat disukai oleh masyarakar sehingga dapat diterima secara umum. Barang yang dapat berfungsi sebagai alat tukar pada dasarnya merupakan “uang barang” (commodity money system). Barang-barang yang pernah berfungsi sebagai uang tersebut diantaranya: besi, tembaga, perunggu, nikel, timah hitam, emas, perak, kerang, taring babi hutan, gigi ikan paus, porselen, kulit binatang, gading, garam, beras, tembakau, babi, kuda, kambing, dan lembu.
Dalam perkembangan berikutnya, barang-barang yang berfungsi sebagai uang tersebut banyak yang kemudian tidak digunakan lagi, karena kurang memenuhi syarat sebagai uang, sehingga akhirnya yang tetap dipergunakan adalah barang logam saja. Logam mulia seperti emas dan perak dianggap cocok sekali sebagai alat tukar karena berbagai alasan. Yaitu tahan lama, mudah menyimpannya, mudah dipindahkan, mudah dibagi-bagi dengan tidak kehilangan nilainya, dan untuk jangka waktu yang lama nilainya tetap, sebab kemungkinan untuk menghasilkannya relatif terbatas. (Hamadan, 1433: 5),
Emas dan pera digunakan sebagai mata uang di beberapa negara dengan cetak dan model yang sama sehingga dapat diterima secara umum sebagai alat tukar. Harganya sama dengan berat nilai kandungan barangnya (gold or silver content). Bahkan harga mata uang emas dan perak yang sudah dicetak sama dengan harga emas dan perak lantakan manakala berak dan ukurannya sama. Sistem ini pertama kali diberlakukan oleh Cina pada abad ke tujuh sebelum Masehi. (Muhammad Taqi, 2003: 149).
Rasululullah Saw belum mencetak uang yang khusus dari kaum muslimin. Kaum muslimin masih menggunakan Dirham Persia dan Dinar Romawi dalam alat tukar menukar sesuai berat uang tersebut bukan nominal banyaknya. Hal ini telah ditegaskan oleh Rasulullah saw. dengan sabdanya yang diriwayatkan oleh Ibn Umar ra: “Timbangan berat (wazan) adalah timbangan penduduk mekkah, dan takara (mikyal) adalah takaran penduduk madinah”. (HR. Abu Daud). Pada zaman khalifah Umar Ibnu Khatab pada tahun 20 hijriyah, memerintahkan mencetak uang Dirham baru berdasarkan pola Dirham Persia. Mata uang khalifah Islam yang mempunyai ciri khusus baru dicetak oleh pemerintah Imam Ali ra. Namun peredaranya sangat terbatas karena situasi politik yang tak stabil.
Menurut Zaky Al-Kaff, yang mengutip dari Imam al-Ghazali (450–505 H / 1058–1111 M), bahwa pada zaman sebelum Nabi Muhammad saw., orang Arab sudah mengenal adanya mata uang, tetapi semuanya dari luar Arab. Mereka mengenal mata uang emas, yaitu Dinar dari Romawi dalam perdagangan mereka ke Utara (Syiria), dan mengenal mata uang perak, yaitu Dirham dari Persia dalam perdagangan mereka ke Selatan (Yaman). Barulah pada tahun ke-15 H/536 M, yaitu empat tahun sesudah wafatnya Nabi Muhammad saw. Khalid bin Walid membuat mata uang sendiri di Thabariyah, daerah Syiria. Sedangkan mata uang logam perak, Dirham Islam dibuat tahun 28 H/648 M di Thabaristan (Persia), di mana pada pinggiran mata uang itu ada huruf Arab dengan huruf Kufah, yaitu Bismillahi Rabbi. (Zaky Al-Kaff, 2002: 195)
Adapun mata uang Islam yang pertama kali dicetak oleh kantor percetakan negara Islam baru terjadi pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan dari dinasti Bani Umayyah (65-86 H/685-705 M). Mata uang Islam yang pertama ini diberi nama Dimaskiyah, sesuai dengan nama kota tempat mencetaknya, Damaskus. Dalam mata uang Dinar dan Dirham itu dilukis kalimah tauhid dan disebelahnya ditulis nama Nabi saw, serta menyebut nama negeri, dan tahun mencetaknya. Gambar-gambar Dinar lama diubah dengan tulisan atau lafadz-lafadz Islam, seperti: Allahu Ahad, Allah Baqa’. Sejak itulah orang Islam memiliki Dinar dan Dirham yang secara resmi digunakan sebagai mata uangnya. Khalifah mengirimkan mata uang itu ke seluruh negera, memerintahkan supaya seluruh mata uang Romawi dan Persi dibekukan, serta tidak boleh beredar lagi. (Edwin, 2010: 247)
Logam emas dan perak menjadi pilihan masyarakat sebagai alat tukar karena memudahkan dalam bertransaksi. Uang logam sesuai dengan nilai barang yang dimilikinya. Uang yang terbuat dari emas dan perak disebut uang logam dan uang ini disebut juga sebagai full bodied money, karena nilai uang ini dijamin penuh (100%) oleh bodynya. Artinya antara nilai nominal dan nilai bahan sama. Namun membawa dan menyimpan uang dalam jumlah besar merepotkan dan khawatir hilang dicuri atau dirampok. Sebagai solusinya dibuka penitipan uang dengan bukti giro atau bilyet sebesar jumlah uang yang dititipkan. Kemudian penyimpanan ini bukan hanya berfungsi sebagai tempat penitipan tetapi juga digunakan untuk alat transaksi sehinga dalam transaksipun tidak langsung membayar dengan uang emas, atau perak tetapi cukup dengan menyerahkan cek atau bilyet giro sesuai nilai nominalnya.
Catatan kepemipilikan serta pembayaran melalui cek dan giro inilah awal mula adanya uang kertas. Menurut Edwin (2007:240) pada awal perang dunia kedua disepakati di beberapa negara dengan berdasarkan pengakuan pemerintah melalui bank sentral meresmikan mata uang kertas sesuai dengan kekayaan negara yang dimilikinya. Pemerintah yang telah merdeka mencetak mata uang negara resmi sebagai alat tukar transaksi antar masayarakat dan antar negara. Nilai uang pun sesuai dengan ketetapan bank sentral di masing-masing negara.
Di era digital yang bebasiskan teknologi informasi uang kertas mulai diminimalisir. Masyarakat tidak banyak memegang uang kertas secara tunai tetapi menyimpannya di bank dengan bukti kepemilikan di nomor rekeninnya. Belanja barang kebutuhan tidak selalu dengan uang kertas secara tunai namun dapat berbelanja dengan kartu Anjungan Tunai Mandiri (ATM). Masyarakat dapat mengambil uangnya dengan jumlah kebutuhan untuk sekedar memenuhi kebutuhan transaksi dalam jangka waktu dan jumlah barang tertentu. Bahkan dapat melakukan transaksi dengan kartu ATM secara langsung. Belanja dengan pembayaran ATM dan giro harus memiliki uang tabungan diatas jumlah belanja yang hendak dibayakan. Berbeda dengan kartu kredit yang dapat digunakan untuk pembayaran transaksi tanpa harus memiliki tabungan karena pembayaran yang sebenarnya dilakukan pada saat tagihan dari bank.
Kemajuan teknologi terkini, mata uang hanya berupa angka nominal sesuai mata uang yang disepakati. Menerima bayaran uang melalui transfer beruapa angka nominal dan membelanjakannya hanya mengurangi nominal uang secara virtual. Bahkan keuangan digital telah mengubah uang kertas menjadi uang digital dengan catatan yang diterima lalu dibelanjakan sesuai dengan kepemilikan atau limit belanja yang tertera dalam rekening pemilik. Uang kertas mulai berkurang di pasaran karena masyarakat beralih kepada uang digital.
Alat tukar adalah Bitcoin yang didapat dengan cara menambang (mining) digital atau membelinya. uang ini hanya dapat digunakan sebagai alat tukar digital di dunia maya. Bitcoin adalah produk keuangan digital yang tak memerlukan pengakuan dan percetakan bank sentral dari negara manapun. Meskipun Bitcoin ini belum diterima dan diakui sebagai alat tukar atau investasi di sebagian besar negara di dunia namun telah dikenal luas di masyarakat.
Diambil dari : https://www.facebook.com/cholil.nafis.1/posts/10215051920674228