Pertanyaan :
Saya kadang keluyuran ke tempat-tempat WTS. Ternyata di tempat-tempat tertentu ada modinnya. Modin ini biasanya menikahkan tamu, yaitu lelaki yang butuh melepaskan hasrat seksualnya dengan WTS di tempat itu. Lelaki hidung belang itu dikawinkan dengan WTS dengan akad seperti biasanya. Saya tak tahu apakah pernikahan mereka langgeng atau tidak. Namun saya memperkirakan pernikahan itu hanya berlangsung sesaat itu saja.Setelah itu mereka bubar.Yang ingin saya tanyakan, apakah nikah kilat itu sah ? Kalau sah, apakah harus cerai setelah menggauli atau meninggalkan kalau tidak kan si WTS terus berdosa karena statusnya masih istri orang?
Iswandi, Perumahan Wage Indah, Sidoarjo
Jawaban :
Mas Dodi Iswandi, pernikahan itu sah menurut agama kalau sudah memenuhi syarat dan rukun nikah. Adapun syarat sahnya nikah menurut islam, di antaranya seorang wanita yang akan dinikahi itu tidak ada penghalang, baik itu penghalang yang sementara atau penghalang yang selamanya. Termasuk penghalang nikah yang selamanya yaitu wanita itu masih mahromnya (qorobah), saudara sepersusuan (rodlo’) dan mertua atau menantu (mushoharoh). Sedangkan penghalang sementara adalah karena dikumpulkan dua saudara perempuan sekaligus atau wanita dalam keadaan iddah (masa manunggu setelah pisah dengan suaminya)
Adapun rukun nikah ada lima, yaitu calon mempelai lelaki, calon mempelai perempuan, wali nikah, dua saksi dan ijab qobul. Jika memenuhi syarat dan rukun yang disebutkan di atas maka nikahnya dianggap sah oleh agama walaupun tidak didaftarkan ke KUA yang oleh masyarakat disebut ‘nikah sirri’. Namun agar mempunyai kekuatan hukum jika ada persoalan nanti yang harus diselesaikan melalui pengadilan agama, maka hendaknya pernikahan itu didaftarkan di KUA.
Mas Dodi Iswandi, menikah dengan WTS di lokalisasi yang dilakukan oleh modin, ada beberapa masalah yang harus dilihat dari sudut fiqh. Di antaranya masalah ‘iddah’, niat nikah kilat atau sementara (mut’ah) dan ‘wali nikah’. Iddah, mungkin perempuan itu baru dinikahi oleh orang lain kemudian dicerai dan belum sampai masa iddahnya sudah dinikahkan lagi, maka nikahnya tidak sah, mut’ah kalau dijelaskan dalam akad nikah juga tidak sah, tetapi kalau hanya diniatkan dalam hati dan tidak diucapkan dalam akad (fi shulbil aqad), ada ulama yang mengatakan sah dan ada yang mengatakan tidak sah. Sedangkan masalah wali nikah dalam tinjauan fiqh mayoritas ulama (Syafi’i, Maliki, Hanbali) menjadikan sebagai rukun, dan tidak sah nikah tanpa wali. Sesuai sabda Rosulullah saw, “ Tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil, jika nikah tanpa hal demikian itu maka nikahnya batal.” (H.R. Ibnu Hibban dalam kitab Shohihnya)
Yang berhak menjadi wali nikah adalah ‘ayah kandung’, jika ia tidak ada maka kakek kandung sampai ke atas dan terus ke urutan berikutnya menurut urutan ashobah dalam waris. Jika wali nasab tidak ada maka pindah ke ‘sulthon’. Sesuai sabda Rasulullah saw, “ Sultan adalah wali bagi wanita yang tidak punya wali.” (H.R. al-Syafi’i, Abu Daud, Ibnu Hibban dan lainnya.)
Wanita dianggap tidak punya wali karena wali nasab itu wafat atau karena ghoib (jauh) yang lebih dari masafah qosrissholah ( 80 km). Jika demikian maka wali nikah bisa pindah ke sulthon. Sulthon, di masa Rosulullah adalah Rosulullah sendiri. Di masa sahabat dan tabiin serta di negara islam dilimpahkan ke qodli atau hakim. Di masa sekarang (Indonesia yang bukan negara islam), menurut sebagian ulama sulthon itu adalah Kepala KUA (bukan modin) sebagi pelaksana dari Menteri Agama (qodli).
Namun pendapat lain ada yang mengatakan bahwa sulthon itu hakim di suatu wilayah atau muhakkam (orang yang diangkat hakim oleh wanita itu walau bukan kepala KUA) yang faqih dan adil bisa menikahkan wanita itu. ( Talkhis dari Bughyatul Mustarsyidin : 208)
Mas Dodi Iswandi, tidak baik Anda suka keluyuran ke lokalisasi WTS, khawatir tergoda, bahaya. Begitu juga menikah dengan WTS di lokalisasi yang dilaksanakan oleh modin sebaiknya tidak dilakukan, karena khawatir tidak memenuhi syarat dan rukun seperti yang dijelaskan di atas, dan kalau tidak memenuhi syarat rukun maka nikahnya tidak sah, kalau nikahnya tidak sah maka hukumnya zina. Naudzu biilahi min dzalik.