CHOLILNAFIS.COM, Jakarta-Wakaf itu tanda seseorang dermawan dan wawasan sadekah dalam jangka panjang. Sebab seseorang berwakaf itu krn didorong oleh rasa kedemawanan bukan krn kewajiban. Ia suka rela menyisihkan hartanya dan beramal yang tak putus-putus sampai hati kemudian.
Jumlah wakaf tak dibatasi nominalnya juga tak terbata pada kepememilikan jumlah harta tertentu. Berapapun miliknya dianjurkan untuk berwakaf asal hartanya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.
Sayangnya harta wakaf di Indonesia masih dipersepsikan sebagai benda mati dan untuk orang mati. Meskipun untuk orang hidup seringkali hanya untuk yang bernilai ibadah semata tanpa memberikan kesejahteraan dan nilai ekonomis.
Di era generasi milenial dan keuangan digital memungkinkan setiap orang bisa berwakaf sekaligus dapat dengan mudah memilih model investasi untuk pengembangannya. Diharapkan hasil laba investasi dapat dimanafaatkan sesuai peruntukannya. Dan asset wakaf harus tetap dijamin lestari tanpa terkurangi oleh inflasi.
Tadi Pagi saya sempat menyaksikan, mendoakan dan mendorong wakaf uang menjadi budaya masyarakat. Jika berwakaf menjadi budaya dan tradi menyisihkan sebagian hartanya setiap jum’at untuk berwakaf maka hal itu menjadi kekayaan sekaligus menjadi tangga untuk mengangkat martabat umat.
Mari renungkan seandainya setiap 10 juta masyarakat berwakaf 100 ribu setiap bulan maka akan terkumpul 1 Milyar. Bayangkan klo sepertiga masyarakat/100 juta orang Indonesia berwakaf 1 juta pertahun maka akan terkumpul 1 triliun setiap tahunnya.
Jika sebagian masyarakat membiasakan berwakaf untuk produktif dan bernilai ekonomi maka berapa asset negara yang dkuasai oleh asing dapat dibeli kembali oleh umat. Lalu hasilnya ubtuk masyarakat tak mampu kemudian diberdayakan dan dibiayai pendidikan anaknya.
Mari biasakan berwakaf untuk mertabat masyarakat yang akan datang dan bekal untuk menghadap yang Maha Kuasa.
KH. M. Cholil Nafis, Lc., Ph.D