Pertanyaan :
Saya tinggal dekat pantai kenjeran kalau menjelang Ramadlon dan lebaran kadang saya lihat banyak para kyai dan beberapa orang datang ke pinggir pantai, katanya melihat bulan untuk menentukan masuk puasa. Yang menjadi pertanyaan saya Ustadz, apakah menentukan masuk puasa dan lebaran harus dengan melihat bulan secara langsung? Apa nggak cukup dengan hisab ? Atas jawaban Ustadz kami haturkan terima kasih.
Zaini, Jl.Kenjeran Surabaya
Jawaban :
Pak H. Zaini yang saya hormati, perhitungan bulan dalam islam adalah bulan Qomariah (perputaran purnama) bukan Syamsiah (peredaran matahari), dari itu untuk menentukan awal bulan islam yaitu dengan terbitnya bulan (hilal). Termasuk juga dalam penentuan awal dan akhir bulan Ramadlan juga harus dengan melihat bulan. Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Hurairah dan lainnya, Rasulullah saw bersabda : “ Berpuasalah kamu sekalian karena melihat bulan dan ifthorlah (akhiri puasa) karena melihat bulan, jika mendung bagimu (bulan tak terlihat) maka sempurnakan hitungan Sya’ban tiga puluh hari.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Dari hadits tersebut dan beberapa hadits yang lain Rasulullah menerangkan metode penentuan awal dan akhir puasa dengan dua cara. Pertama : dengan melihat bulan secara langsung. Seperti yang dilakukan Ibnu Umar dan A’robi serta beberapa sahabat yang lain; Kedua, dengan cara menyempurnakan hitungan bulan Sya’ban atau Ramadlan genap tiga puluh hari, jika bulan tak dapat dilihat karena mendung atau yang lainnya.
Adapun dengan cara hisab sebagian besar ulama tidak memperbolehkannya sebagai satu-satunya cara untuk menentukan awal dan akhir puasa, kecuali kalau hanya sebagi pendukung saja yang pada finalnya tetap harus dengan ru’yat. Berikut ini beberapa pendapat ulama fiqh tentang hisab :
- Al-Hanfiah : Tidak boleh berpegang teguh pada apa yang dikabarkan oleh ahli waktu, ahli hisab dan ahli perbintangan. Karena hal tersebut bertentangan dengan syari’at Nabi kita Muhammad SAW.
- Al-Malikiah : Tidak bisa ditetapkan hilal (bulan) dengan ucapan ahli hisab, tidak dalam hak dirinya atau orang lain, karena Al-syari’ (Allah SWT) menentukan puasa, lebaran dan haji dengan melihat hilal. Maka mengamalkan dengan cara perhitungan ilmu falak walaupun benar itu tetap tidak boleh.
- Al-Hanabilah : Tidak wajib berpuasa dengan cara hisab dan nujum walaupun sering cocok, karena tidak dapat legitimasi syara’. ( DR. Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh : 2/599-602)
Namun ada pendapat lain tentang hisab ini, yaitu pendapat DR. Yusuf al-Qordlowi, “ Jika hisab atau ilmu astronomi itu sudah benar-benar akurat dan tipis sekali kemungkinan meleset untuk menentukan awal bulan, maka bisa dijadikan landasan untuk menentukan awal dan akhir puasa” (Fiqh al-Shiyam : 32)
Pak H. Zaini yang dimuliakan Allah SWT, para kyai dan beberapa petugas pengadilan agama yang disertai tim ru’yat ormas islam bisanya setiap awal dan akhir Romadlon selalu melakukan ru’yat (melihat bulan) langsung di beberapa daerah pinggir pantai di wilayah Indonesia termasuk di pantai kenjeran. Hal itu untuk dijadikan dasar itsbat atau penentuan awal dan akhir Ramadlan sesuai sunnah Nabi Muhammad SAW. Adapun hisab itu hanya sebagai pendukung saja dan tidak cukup dijadikan satu-satunya dasar untuk menentukan awal dan akhir Ramadlan tanpa ru’yat. Wallahu a’lam bisshowab.