Pertanyaan :
Ustadz, saya punya anak laki-laki ketika lahir saya lihat alat kelaminnya sudah terbuka seakan-akan sudah di khitan. Sekarang sudah umur 5 tahun saya ingin menghitannya, tetapi apanya yang dikhitan wong sudah terbuka alat kelaminnya? Mohon penjelasannya ustadz! Atas jawaban ustadz saya haturkan terrima kasih.
Muhammad Khonafi, Jl. Sumbo Surabaya
Jawaban :
Pak Muhammad Khonafi yang saya hormati, khitan artinya memotong kulit yang menutupi hasyafah (ujung kepala penis) bagi anak lelaki dan memotong secuil di bagian atas bidzr (clitoris) anak perempuan. Hukumnya, menurut jumhur ulama’ wajib. Hikmahnya, agar tidak menumpuk kotoran dan najis kencing di ujung alat kelamin lelaki dan agar lebih menambah kenikmatan bersetubuh. Pelaksanaanya, sunahnya pada hari ketujuh setelah kelahiran dan bisa dilaksanakan setelah sampai sebelum balig. Bagi yang baru masuk masuk Islam setelah dewasa tetap harus dilaksanakan khitan, karena Nabi Ibrahim sendiri melaksanakan khitan ketika berumur 80 tahun.
Namun, bagi seorang anak lelaki yang lahir sudah dalam keadaan terbuka hasyafahnya dan tidak ada penutup sama sekali yang dapat menyimpan najis atau kotoran, hal itu karena terjadi dengan sendirinya atau karena faktor lain seperti dikhitan oleh jin dan lainnya, maka cukup dan sudah tidak wajib dikhitan lagi karena tujuan khitan sudah tercapai.
Hal ini berdasarkan apa yang terjadi pada Rasulullah saw sendiri. Diriwayatkan bahwa Rasulullah lahir dalam keadaan terkhitan. (Wawulida makhtûnan bi yad al-‘inayah, al-Barzanji)
Begitu juga Sayid Abdurrahman Ba ‘Alawi mufti al-Diyar al-Hadhramiyah menjelaskan, “Dan jika seorang anak lelaki dikhitan oleh jin dengan cara di hilangkannya penutup hasyafah, maka itu cukup, karena tujuan khitan itu menghilangkannya, sebagaimana anak lahir sudah dalam keadaan terkhitan. Maka ketika itu tidak sunnah lagi melalukan pisau cukur,berbeda bagi kepala orang yang ihram.” (Bughyat al-Mustarsyidîn: 20)
Pak Muhammad Khonafi yang dimuliakan Allah SWT, anak Bapak yang sudah lahir dalam keadaan terbuka hasyafahnya dan tidak ada penutup yang dapat menyimpan najis atau kotoran, maka tidak usah dikhitan lagi dan itu sudah cukup serta tidak menanggung dosa. Wallâh a’lam bi al-showâb.