CHOLILNAFIS.COM, Jakarta-Nasionalisme yang dibangun oleh pendiri bangsa, menurut Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat Majelis Ulama Indonesia Dr KH M Cholil Nafis Phd, tidak menghilangkan nilai keagamaan. Masing-masing agama menyerukan tentang cinta Tanah Air yang menjadi tempat keberagaman. “Kalau kemudian tidak bertentangan dengan Islam dan nasionalisme mengapa harus di pertentangkan,” tuturnya.
Berikut petikan wawancara dengan Dr KH M Cholil Nafis MA:
Bagaimanakah konsep nasionalisme yang ideal di Indonesia?
Tentu, umat Islam sebagai mayoritas di Indonesia memiliki pemahaman yang baik tentang hubungan agama dan negara. Meskipun tidak menafikkan ada sekelompok kalangan yang masih kurang paham, seolah Islam itu harus diwujudkan dalam bentuk negara atau istilahnya negara Islam yang diwujudkan dalam politik. Jadi, kalau pemimpinnya Muslim maka harus dilaksanakan hukum syariah yang ketat. Itu kelompok yang sebagian.
Kita bersyukur mayoritas umat Islam di Indonesia cukup paham bahwa negara itu bukan tujuan dalam hidup beragama. Tapi, negara itu adalah bagian atau sarana untuk menjalankan agama secara aman dan teratur. Oleh karena itu, yang terpenting dalam Islam adalah menciptakan khalifatullah fi al-ardl, masing-masing pribadi kita menjadi khalifah Allah di bumi, memakmurkan bumi Indonesia, dan menciptakan kemaslahatan bagi seluruh rakyat Indonesia atau tamaddun, berdaya, dan sejahtera.
Jadi, bukan khilafah yang semata- mata membentuk negara Islam, melainkan pribadi-pribadi masyarakatnya memiliki pemahaman Islam yang keropos. Karena itu, pilihan para ulama terdahulu yang menyatukan Pancasila dengan Islam merupakan bentuk kesaktian tersendiri di mana dimaknai kita ingin hidup bersama, berdampingan antara berbagai paham keagamaan atau aliran kepercayaan, bahkan antarumat beragama dalam satu bingkai Pancasila.
Sila pertama Pancasila, yaitu Ketuhanan yang Maha Esa bisa juga ditafsirkan bagi masing-masing umat beragama tanpa harus mendistorsi pemahaman agama masing-masing. Nah, Pancasila yang kita anut sebagai filosofi dan dasar negara itu untuk menciptakan sila kedua, Kemanusiaan yang Adil, dan sila ketiga, yakni Persatuan Indonesia. Ini penting karena kalau sisi kemanusiaan kita tidak terbangun dan persatuan kita pecah maka tujuan beragama pun pasti akan terhambat. Oleh karena itu, persatuan dan kemanusiaan juga menjadi penting dalam kehidupan kita.
Sebenarnya, bentuk persatuan kita ini sama seperti dalam Piagam Madinah yang pertama kali disodorkan Nabi Muhammad SAW adalah ummatun wahidah. Jadi, sebagai umat yang satu tanpa melihat latar belakang agama dan keturunannya. Nah, saya pribadi melihat nasionalisme yang kita bangun saat ini masih memahami bahwa Pancasila menjadi penyatu masyarakat Indonesia dari berbagai latar belakangnya.
Benarkah nasionalisme dan Islam saling bertentangan?
Sebenarnya, yang dipertentangkan itu bentuk nasionalisme yang seperti apa dulu. Kalau nasionalisme yang menihilkan atau menghilangkan nilai agama, tentu bertentangan. Pasti, umat Islam di Indonesia pun tidak setuju hal itu. Tapi, nasionalisme yang membingkai nilai agama, seperti yang ada di Indonesia kan tidak ada yang salah. Jadi, kalau nasionalisme tidak bertentangan dengan agama, kemudian dibuat-buat bertentangan, tentu salah. Demikian pula nasionalisme seperti sekuler, kemudian kita mengatakan nasionalisme seperti itu, yang demikian juga tidak bisa kita anut.
Karena nasionalisme sekuler menghalangi masyarakatnya untuk menjalankan keyakinan dan agama yang dianut masyarkatnya. Tapi, nasionalisme Indonesia yang dibangun bapak-bapak pendiri bangsa ini, tidak menghilangkan nilai keagamaan kita. Masing-masing agama menyerukan tentang cinta Tanah Air yang merupakan rumah keberagaman kita. Kalau kemudian tidak bertentangan dengan Islam dan nasionalisme mengapa harus dipertentangkan. Tapi, juga tidak setuju bila sebaliknya, seperti negara sekuler yang menghapus nilai agama, model nasionalisme seperti itu tentu harus dipertentangkan.
Anda menyinggung soal khalifah dan khilafah, bisa dijelaskan perbedaan keduanya kaitan dengan nasionalisme dalam Islam?
Jadi, kalau khalifah itu lebih kepada civil society atau pemberdayaan masyarakat yang sadar hukum, masyarakat yang sadar ekonomi, masyarakat yang ada orientasi hidupnya, termasuk masyarkat yang sadar akan nilai beragama yang kuat. Itu khalifah dan kita membangun bumi ini untuk kemashlahatan orang lain, jadi membangun masyarakat dan komunitasnya.
Tapi, kalau khilafah itu lebih kepada kerangka negara, jadi cita-citanya harus berdiri negara Islam. Tidak seperti itu, karena yang diperjuangkan oleh kita adalah masyarakat yang Islami. Kalau nanti otomatis sudah menjaga nilai Islam secara baik semua maka menjadi kekhilafahan Islam. Bukan di balik, suatu bangsa dipaksa menjadi kekhalifahan Islam, padahal penyadaran masyarakatnya akan agama dan nilai kehidupan belum terbangun. Apalagi, suatu wilayah yang belum mendapatkan hidayah dari Allah kemudian dipaksakan untuk didirikan khilafah tentu tidak bisa.
Jadi, perlu dipahami yang ditegakkan Nabi Muhammad SAW itu bukan khilafah, tapi khalifah. Penyadaran masing- masing individu terhadap dirinya, tugas kemanusiaannya di muka bumi. Itu khalifah. Jadi, khilafah itu konsekuensi ketika seluruh individu masyarakatnya sudah menjadi khalifah. Bisa saja, kalaupun masyarakatnya sudah sadar sebagai khalifah memilih menjadi demokrasi atau menjadi kerajaan. Itu gak ada keharusan juga harus menjadi khilafah. Karena yang diinginkan oleh Islam adalah manusia yang hidup lebih Islami, karena itu perlu disadarkan masyarakatnya bukan dipaksa menjadi Islam atau negara Islam.
Mengapa nasionalisme dan Islam kembali di pertentangkan belakangan ini?
Sebenarnya, inilah yang sedang kami teliti bekerja sama dengan Universiti Malaya di Malaysia, mengapa kok sekarang banyak orang memikirkan nasionalisme itu tidak Islami atau kalau Islami tidak nasionalis. Padahal, keduanya itu tidak bisa dipertentangkan tapi bisa dikompromikan. Biasanya, yang memiliki pemahaman mempertentangkan Islam dan nasionalisme untuk konteks Indonesia khususnya adalah mereka yang memiliki semangat keislaman tinggi, tapi tidak diimbangi oleh ilmu keislaman yang dalam.
Jadi, orang yang beriman dengan berapi-api, tapi tidak dibekali dengan ilmu agama yang dalam dia menjadi fanatik. Demikian juga orang yang berilmu banyak, tapi tidak dilandasi pada semangat keislaman munculnya menjadi liberal. Fenomenanya seperti itu kelompok `kiri’ adalah orang orang yang merasa pintar, mendewakan akal, tapi tidak diimbangi dengan semangat keimanan. Sedangkan, kelompok ekstrem `kanan’ merasa beriman paling tinggi, tapi tidak diimbangi dengan ilmu agama yang dalam. Jadi, Islam sebenarnya memberi jalan tengah sebagai wasathiyah, semangat keagamaan harus diimbangi dengan ilmu agama yang dalam.
Diterbitkan Juga di:
http://www.republika.co.id/berita/koran/islam-digest-koran/15/08/23/ntj7b51-kh-m-cholil-nafis-phd-nasionalisme-kita-tidak-bertentangan-dengan-agama