CHOLILNAFIS.COM, Jakarta-Metode dakwah adalah jalan atau cara yang dipakai juru dakwah untuk menyampaikan materi dakwah Islam. Dalam menyampaikan suatu pesan dakwah, metode sangat penting peranannya, karena suatu pesan walaupun baik tetapi disampaikan Iewat metode yang tidak benar, maka pesan itu bisa saja ditolak oleh si penerima pesan.
Dalam al-Quran surat an Nahl ayat 125 metode dakwah ada liga, yaitu: bi al-hikmah; mau’izatulhasanah; dan mujadalah billti hiya ahsan. Secara garis besar ada tiga pokok metode (thoriqah) dakwah, yaitu:
- Al-Hihikmah, yaitu berdakwah dengan memerhatikan situasi dan konddisi sasaran dakwah dengan menitik-beratkan pada kemampuan mereka, sehingga di dalam menjalankan ajaran-ajaran Islam selanjutnya mereka tidak lagi merasa terpaksa atau keberatan.
- Mau’dzatul Hasanah, yaitu berdakwah dengan memberikan nasihat-nasihat atau menyampaikan ajaran Islam dengan rasa kasih sayang, sehingga nasihat dan ajaran Islam yang disampaikan dapat menyentuh hati mereka
- mujadalah billti hiya ahsan, yaitu berdakwah dengan cara bertukar pikiran dan membantah dengan cara yang sebaik-baiknya dengan tidak memberi tekanan yang memberatkan pada komunitas yang menjadi sasaran dakwah
Seorang ulama bernama Ar Raghib menyatakan, Hikmah adalah memperoleh kebenaran dengan peranrtara ilmu dan akal. Hikmah marupakan suatu kemulyaan bagi orang yang mampu meraihnya ataupun karena rahmat dan berkah Allah SWT al Baqarah (2): 269
Islam melarang adanya sikap arogan, sombong dan takabbur dalam menyampaikan pendapat. Kritik yang hanya sokedar berniat menjatuhkan dan mencelakakan orang lain hanya akan mengakibatkan kerusakan dan akan menimbulkan kerugian di pihak manapun. Kritik yang hanya dijadikan tujuan akan menunjukkan sikap seolah-olah orang lain selalu salah dan dirinya merasa benar. Orang yang demikian akan menjadi merugi sebagaimana dilukiskan dalam al Quran Surat al Kahfi (18) 103-1044).
Dalam rangka mencapai hikmah dalam berdakwah, seorang da’i (penyeru agama) harus memiliki berbagai kemapuan yang berkaitan dengan agama dan tradisi masyarakat. Seorang da’i adalah pelaku rekayasa social (social engineering), dalam ilmu sosiologi disebut agent of social change (pihak-pihak yang menghendaki perubahan sosial, atau agen rekayasa sosial), baik bersifat individu (fardi) maupun berupa kolektif (jema’ah) atau organisasi. Menurut Muhammad Abduh perekayasa sosial (da’i) harus memiliki pengetahuan agama yang terdapat dalam Al-Qur’an, al-Hadis, sirah Nabi saw, sejarah hidup khulafa’ rasyidin dan salafush shaleh, dan pengetahuan hukum yang memadai. Sedangkan menurut Yusuf al-Qardhawi ilmu-ilmu yang harus dimiliki oleh perekayasa sosial (da’i) adalah Al-Qur’an dan tafsirnya, sunnah nabi, ilmu fikih, ilmu ushul fiqh, ilmu akidah, ilmu tasawuf, dan pengetahuan tentang ajaran Islam yang menyeluruh dan terpadu.
Di samping pengetahuan agama, pihak-pihak yang hendak melakukan rekayasa sosial juga dituntut memiliki pengetahuan umum. Maksud pengetahuan umum di sini adalah pengetahuan yang dapat dijadikan media untuk mengenal masyarakat dan persoalan-persoalan yang dihadapinya, sehingga da’i mampu berdakwah dengan hikmah (bijak) dan mampu berdialog dengan baik. Di antara pengetahuan yang harus dimiliki oleh da’i yang akan melakukan perubahan sosial adalah mengetahui kondisi masyarakat yang akan dirubah. Terdapat beberapa ungkapan dalam Al-Qur ‘an yang digunakau untuk mengungkapkan kondisi sosial masyarakat yang perlu diubah. Di antaranya, lafal ” al-zhulumaat” yang antara lain terdapat pada firman Allah surat Ibrahim: ayat 1 dan ayat 5: Menurut al-Raghib al-Ashfahani, istilah al-zhulumaat mempunyai dua makna. Pertnma, kegelapanr Kadua, kebodohan; kumusyrikan; dan kefasikan.
kedua makna yang diajukan al-Raghib merupakan makna yang menjadi perhatian pada pembahasan ini, Sedangkan bagi Muhammad Ali af-Shobuni, lafal al-zhulumaat yang terdapat pada ayat 1 dan 5 pada surat lbrahim mengandung pengertian kebodohan, kesesatan, dan kakafiran. Penafsiran lebih rinci dikemukakan oleh Sayyid Quttub. Menurutnya, lafa adz dzulumaat yang terdapat pada surat Ibrahim: 1 mengandung pengertian kegelapan akibat angan-angan, kegelapan yang bersumber dari adat istiadat, kegelapan akibat ketundukan pada banyak Tuhan, kegelapan akibat kerancuan visi, dan pertimbangan-pertimbangan.
Selain ungkapan al-zhulumaat, terdapat pula istilah al-munkar. Istilah ini, menurut al-Raghib al-Ashfahani, mengandung pengertian segala perbuatan yang dinilai buruk oleh akal sehat atau syariat Islam.” Sedangkan Abu Bakar al-Jasshash melihal bahwa al-munkar berarti: apa saja yang dilarang oleh Allah. Berbeda dengan kedua ahli tersebut, Muhammad Farid Wajdi berpandangan bahwa al-mnnkar adalah apa saja yang dilarang oleh syari’at Islam dan dinilai buruk oleh fitrah manusia”.
Dari pendapat-pendapat tersebut ada tiga hal yang perlu dicatat. Pertama, mereka sepakat bahwa yang dimaksud al munkar adalah apa saja yang menyimpang, salah dan buruk menurut syari’at Islam dan akal sehat [fitrah], Keditu, mereka juga sepakat bahwa al-munkar itu sangat luas wilayahnya, Hal ilu terlihat dari penggunaan huruf (ma)yang berarti yang atau apa saja di dalam definisi mereka masing-masing; dan ketiga, alat yang dapat dipakai untuk mengidenrifikasi munkar adalah syariat Islam dan akal sehat.
Kemungkaran yang harus diubah sangat luas wilayah garapannya. Hal itu didasarkan pada lafal munkaron yang terdapatdi dalam hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Imam Muslim tersebut di mana diungkapkan dalam bentuk nakirah yang menunjukkan ‘am (umum). Jadi, berdasarkan keterangan-keterangan di atas dapat disimpulkan, bahwa kondisi sosial masyarakat yang perlu mendapat rekayasa adalah: kondisi sosial yang menyimpang, salah dan buruk.
Adapun cara merubah masyarakat yang buruk tersebut dapat kita mengikuti petunjuk Allah SWT dan metode Nabi Muhammad saw yang melakukan perubahan dengan cepat. Secara garis besar, rekayasa sosial harus menempuh a. Pertama, tahap taghyir ma bi al-anfusihim (perubahan apa yang terdapat di dalam diri] berupa perubahan pemahaman, keyakinan, dan akhlak. Pada tahap ini, materi yang seharusnya disampaikan oleh pelaku rekayasa sosial adalah pemikiran, akidah, ibadah. Kedua, tahap taghyir ma biqaumin kondisi sosial. Pada tahap ini, materi yang seharusnya disampaikan adalah aspek muamalah ekonomi, sosial-kemasyarakatan, politilk, dan lain sebagainya. Kedua tahapan ini merupakan garis besar metode rekayasa sosial yang diajarkan oleh Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad saw berdasarkan fiman Allah SWT dalam surat ar-Ra’d ayat 11:
“Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. …….”
Pemahaman ayat tersebut adalah bahwa kondisi suatu masyarakat, baik maupun buruk, tidak akan diubah oleh Allah SWT hingga mereka terlebih dahulu melakukan perubahan terhadap apa yang terdapat pada diri mereka berupa pemahaman, pemikiran, dan asumsi-asumsi. Tanpa melakukan hal itu, maka harapan untuk mendapatkan perubahan kondisi dari Allah SWT adalah menyalahi teks ayat sekaligus mengingkari tugas ke-khalifahan manusia.
Perbaikan manusia dan kemanusiaan dalam Islam sangat tergantung dan berangkat dari aspek tauhid, yaitu aspek ketuhanan dan keimanan yang sangat mendasar. Karena itulah kesadaran dan tanggung jawab tauhid yang sesungguhnya menjadi ukuran bagi setiap manusia beriman. Pemahaman tauhid yang berdimensi kemanusiaan akan menyiapkan diri manusia untuk tunduk di bawah kehendak Allah dalam segala aspeknya. Seperti kesukaan dan ketidaksukaan, ide dan cara berpikirnya, keinginannya; manusia akan membenci dan mencintai ‘sepanjang sejalan’ dengan kehendak Allah SWT. Tauhid dan keimanan yang sejati itu mengandung makna: Pertama, suatu ketundukan mutlak (full submission) pada Allah; kehidupan dan perbuatannya hanya diabdikan pada kehendak Allah SWT. Firman Allah dalam al Quran Surat Al Baqarah (2) : 207-208:
“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya Karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya”.
Kedua, menolak semua kesetiaan selain kepada Allah kecuali loyalitas yang diperkenankan-Nya. Ditegaskan dalamAl Quran Surat al A’raf(7):3:
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya[528]. amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya)”.
Ketigat, mencintai Allah lebih dari segalanya berarti juga menuruti contoh teladan Rasul-Nya dalam menjalani kehidupan, termasuk di dalamnya dakwah dan jihad beliau; dengan demikian tanpa da’wah dan jihad tidak lengkaplah iman seseorang. Pesan itu dapat kita hayati dari firman Allah dalam Al Quran Surat Ali ‘Imran (2) : 32 :
“Katakanlah: “Ta’atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir”.
Konsep penting lain dalam Islam adalah jihad. Secara literer, konsep ini berarti berjuang. Konsep ini juga perlu ditafsirkan dalam konteks teologi pembebasan. Dalam konteks ini, jihad mempunyai makna sebagaimana yang digariskan Al Quran sebagai perjuangan untuk menghapus eksploitasi, korupsi, penindasan, kezaliman, dan ketidakadilan dalam berbagai bentuknya. Perjuangan ini harus terus menerus diupayakan hingga pengaruh destruktif ini hilang sama sekali dari muka bumi. Seperti dikutip dari cendekiawan muslim, Muhammad Iqbal:
“Seorang mukmin adalah orang yang yakin akan Islam dan keyakinannya itu tercermin dalam setiap tindakannya. Seorang muslim jika menghadapi sesamanya dan penganut kehendak Ilahi bisa lebih lembut dari sutra. Tapi, jika harus berjuang untuk membela kebenaran, dia menjadi lebih keras seperti baja. Orang mukmin juga rendah hati seperti debu yang terinjak-injak kaki. Namun, meskipun terbuat dari debu, tidak terikat padanya. Dia dapat melompat tinggi dan tak terbayangkan; menggapai langit dan bintang seolah-olah berada dalam jangkauan tangan. Setelah bersaksi bahwa “Allah Maha Esa “, maka baginya tidak ada kebesaran lain yang dapat mempesona. “
Di samping kesadaran diri adalah kesadaran masyarakat muslim yang sungguh-sungguh untuk meraih masa depan muslim yang cerah. Perjuangan Nabi Muhammad saw. dalam rangka mewujudkan perubahan sosial adalah mengorganisasikan dan membina secara khusus orang-orang yang menerima seruannya. Setelah jumlah pengikut Nabi Muhammad mencapai tiga puluh orang, beliau kemudian memilih rumah seorang sahabat yang bernama al-Arqam bin Abi al-Arqam, yang terletak di kaki bukit Shafa, tidak jauh dari masjid al-Haram. Menurut Muhammad Ridha, tempat ini dijadikan oleh Nabi saw sebagai tempat shalat dan beribadah. Informasi lebih rinci dicatat oleh Husein Mu’nis. Menurutnya, para pengikut nabi bertemu di tempat ini guna bersama-sama membaca ayat-ayat Al-Qur’an, mendalami dasar-dasar akidah, dan shalat jamaah yang kesemuanya dipimpin oleh Rasulullah. Saw.
Upaya Nabi saw mengorganisasikan dan membina pengikut-pengikutnya dapat pula dilihat ketika beliau mem-baiat (pengucapan sumpah-setia) orang-orang Madinah yang menyatakan masuk Islam di ‘Aqabah yang terletak di Mina. Menurut al-Syekh Shafiyyu al-Rahman al-Mabarkafuri, langkah pertama yang dilaku-kan oleh Nabi saw dalam mengorganisir masyarakat guna mengupayakan perubahan masyarakat adalah mendirikan masjid. Masjid ini, di samping menjadi tempat shalat, juga menjadi perguruan di mana kaum muslimin menimba ajaran Islam dan bimbingannya, menjadi wadah pemersatu suku-suku yang bertikai, pusat perencanaan dan pengaturan hal ihwal masyarakat, lembaga musyawarah dan penampungan-penampungan Muhajirin yang tidak memiliki rumah, harta dan sanak saudara. Langkah selanjutnya, Nabi mempersaudarakan Muhajirin para imigran Mekkah dan Anshar penduduk Madinah. Ibn Qayyim al-Jauziyyah menerangkan bahwa setelah Nabi saw membangun masjid, selanjutnya beliau mempersaudarakan Muhajirin dan Anshar di rumah Anas bin Malik. jumlah mereka seluruhnya sembilan puluh orang.
Upaya terakhir yang dilakukan oleh Nabi saw adalah mendeklarasikan Konstitusi Madinah, baik ke dalam maupun ke luar. Isi Konstitusi Madinah itu menjelaskan hak dan kewajiban setiap anggota masyarakat, sebagai jaminan keadilan, kesetiaan, ketenteraman, dan keamanan jiwa dan harta.
Metode ini sangat relevan di era globalisasi dan informasi ini, seorang da’I membekali diri dengan iman dan ilmu pengetahuan agar mampu berdak’wah secara hikmah, nasihat yang baik dan mampu berdialog dengan cara yang paling elegan. Kemampuan ini menjadikan seorang penyeru agama dan pelaku rekayasa sosial yang mengendalikan masyarakat bukan sebaliknya, yaitu dikendalikan masyarakat. Dalam ungkapan lain, da’i yang menjadi fa’il (subjek) bukan menjadi maf’ul (objek)
Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat Majelis Ulama Indonesia Pusat