Pertanyaan :
Ustadz, di kampung saya ada musholla yang ukurannya sempit, untuk menampung jamaah terutama di bulan Ramadlon akhirnya dibangun tingkat dua. Untuk menghubungkan jamaah yang berada di tingkat dua dibuatlah lubang di atas pengimaman yang sekiranya makmum di atas dapat melihat gerakan imam di bawah. Karena ruangannya sempit tangga penghubung berada di belakang, kalau makmum hendak ke bawah harus putar membelakangi qiblat, namun tembus ke lantai bawah. Yang menjadi pertanyaan ustadz, sahkah salat jamaah makmum yang berada di lantai atas ? Atas penjelasannya saya haturkan banyak terima kasih.
Syamhari
Kapas Baru, Surabaya
Jawaban :
Pak Syamhari yang saya hormati, syarat sahnya jamaah kalau itu dalam satu bangunan (masjid, musholla, langgar wakaf, surau, dll.) walau bertingkat dua, tiga dan seterusnya ada dua hal.
- Makmum harus mengetahui gerakan imam dan kedua, harus ada manfadz (lubang penghubung) antara satu lantai dengan yang di bawahnya. Abu Hurairah pernah salat di atas loteng sedangkan imam berada di dalam masjid. Makmum harus mengetahui gerakan imam artinya, makmum yang di atas harus mengetahui gerakan imam yang di bawah baik itu melihat sebagian shafnya makmum yang di bawah atau mendengar suara imam baik langsung atau melalui muballigh.
- Harus adanya manfadz, artinya harus ada tangga penghubung antara lantai atas dengan lantai bawah yang sekiranya makmum yang di atas dapat berjalan menuju imam tanpa ada penghalang.
Namun para ulama’ fiqh berbeda pendapat, apakah tangga itu harus di depan makmum sehingga kalau berjalan menuju imam tidak harus berputar dan tidak membelakangi qiblat ? Atau tangga itu boleh di belakang makmum dan kalau berjalan menuju imam harus membelakangi qiblat ?
Mayoritas ulama fiqh ( Hanafi, Maliki, Hanbali, sebagian syafi’i) mengatakan ‘boleh tangga di belakang makmum walaupun ketika berjalan menuju imam harus membelakangi qiblat’.
Ulama madzhab Syafi’i berbeda pendapat, sebagian ulama ada yang mengharuskan tangga itu di depan makmum dan jika berjalan menuju ke imam harus tidak berputar dan tidak membelakangi qiblat. Sementara ulama yang lain, di ataranya imam al-Nawawi, al-Bulqini, Zakariya, berfatwa : boleh manfadz (tangga penghubung) itu di belakang makmum walaupun jika makmum berjalan menuju imam harus membelakangi qiblat, karena satu bangunan masjid itu satu jamaah. (DR. Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh. 2/228)
al-Saiyid Abdurrahman bin Muhammad Baa ‘Alawi menegaskan, “ Tidak disyaratkan dalam satu masjid (musholla, langgar, surau) adanya manfadz (tangga penghubung) itu di depan makmum atau di sampingnya bahkan sah qudwah (ikut jamaah) walaupun manfadz itu di belakang makmum. Dan ketika itu jika imam di atas atau sebaliknya, seperti ada sumur, menara, loteng di masjid dan tangga itu di belakang makmum dan jika mau berjalan menuju imam harus berputar dan membelakangi qiblat, maka sah qudwah (jamaah), karena sah mengikuti imam di masjid secara mutlak. (Bughyatul Mustarsyidin.hal : 71)
Pak Syamhari yang dimuliakan Allah SWT, kalau jamaah antara imam dan makmum itu tidak dalam satu bangunan atau di tanah lapang (shohro’), maka ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi baik jarak, penghubung dan lainnya. tetapi kalau jamaah itu antara imam dan makmum dalam satu bangunan (masjid, musholla, langgar) walaupun makmum di lantai atas, maka sah jamaahnya asal memenuhi dua syarat yaitu makmum itu mengetahui gerakan imam dan ada tangga penghubung walaupun di belakang.
Jadi, musholla yang di bangun di kampung anda dengan dua lantai dan ada lobang untuk mengetahui gerakan imam di bawah serta adanya tangga penghubung walaupun di belakang seperti yang anda tanyakan itu menurut jumhur ulama itu sah jamaahnya, baik yang ada di lantai atas atau di lantai bawah. Wallahu a’lam bisshowab.