Mukaddimah
Fiqih merupakan hasil pemikiran yang timbul dari interaksi antara teks dengan konteks. Kajian ilmu fiqih akan terus berkembang secara dinamis seiring dengan perkembangan zaman yang harus tetap berada di bawah payung wahyu. Zaman terus bergerak secara dinamis sedangkan wahyu telah sempurna dan terbatas. betapa pentingnya kedudukan fiqih, maka tidak heran apabila ada sebagian pendapat yang mengatakan bahwa jika peradaban Islam dapat diungkapkan atau dijelaskan melalui salah satu produknya, maka dapat kita angkat peradaban fiqih sebagaimana bangsa Yunani yang identik dengan peradaban filsafatnya.
Menurut Gibb, kegiatan dan pemikiran yang menonjol pada masa permulaan Islam adalah dalam bidang hukum bukan dalam bidang pemikiran. Oleh sebab itu, banyak peneliti Islam yang membuat kasusimpulan bahwa tidak mungkin Islam dapat difahami dengan baik tanpa pengetahuan secara komprehensif dan mendalam tentang fiqih.
Bagi umat Islam, mempelajari fiqih merupakan satu usaha sebagai wujud implementasi dari keimanan dan keislaman yang sempurna. Mempelajari dan mengamalkan fiqih merupakan manifestasi keimanan seseorang Muslim. Pelaksanaan hukum Islam (baca: fiqih) dianggap sebagai bentuk ketundukan kepada Allah SWT. Hal ini karena, fiqih tidak hanya semata-mata mengatur hal-hal yang berhubungan dengan ritual saja, akan tetapi juga mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, mulai dari hubungan pribadinya dengan Tuhan, hubungan dengan diri sendiri, keluarga, lingkungan masyarakat, serta hubungan antar agaman dan hubungan internasional.
Dalam Islam, fiqih mempunyai dua fungsi, pertama sebagai hukum positif dan kedua sebagai standard moral. Fungsi hukum positif dengan merujuk kepada fungsi dan perannya seperti hukum-hukum positif lainnya dalam mendapatkan legitimasi dari badan yudikatif (perundangan). Adapun peran fiqih sebagai standard moral adalah merujuk kepada tidak semua hukum fiqih mendapat justifikasi dan legitimasi mahkamah atau badan yudikatif untuk menjadi hukum nasional. Hal ini seperti hukum mubah, makruh dan bahkan hukum wajib serta haram pun tidak boleh sepenuhnya berada di bawah kewenangan legislatif untuk menetapkan suatu hukum
Terdapat dua istilah yang digunakan untuk menunjukkan hukum Islam, yaitu Syariat Islam dan Fiqih Islam. Di dalam buku-buku hukum Islam berbahasa Inggris, Syariat Islam disebut Law, sedangkan fiqih Islam disebut Islamic jurisprudence. Di Indonesia, syariat Islam sering disebut dengan istilah hukum syari’at atau hukum syara`, sedangkan fiqih Islam sering disebut dengan istilah hukum fiqih atau kadang-kadang disebut dengan fiqih Islam.
Perbedaan syariah dengan fiqih adalah jika syariah merupakan hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qurann dan al-Hadīth, maka fiqih merupakan hasil pemahaman dan interpretasi para mujtahid pada teks-teks al-Quran dan al-Hadits serta hasil ijtihad mereka pada peristiwa-peristiwa yang hukumnya tidak ditemukan di dalam al-Quran dan al-Hadīth. Kedua-dua istilah ini dalam bahasa non-Arab disebut juga dengan “hukum Islam” dan “Islamic law”
Secara kronologis, syariah lahir terlebih dahulu dari fiqih. Syariah ditentukan oleh Allah SWT, sedangkan fiqih adalah hasil pemikiran manusia terbatas pada syariah. Jadi, secara umum syariah mengandung prinsip-prinsip dasar yang abadi, karena ia bersumber kepada wahyu Allah SWT yang memang bersifat pasti dan hukumnya tidak mungkin diubah atau dimodifikasi. Sebaliknya fiqih adalah hasil pemahaman manusia yang bersifat kontemporer dan sementara
Fiqh Muamalah
Jika fiqh Islam dipetakan dalam sekala besar, maka menjadi dua bagian; yaitu urusan ibadah dan urusan masyarakat. Dalam bagian pertama mencakup soal keimanan, shalat, zakat, puasa, dan haji. sedangkan bagian kedua meliputi mu‘amalah, munakahat, wiratsah, ‘uqūbah, mukhaamah, siyar, dan al-Ahkam al-Sultaniyyah.
Pemahaman mengenai perkembangan fiqih ini dapat dilakukan dengan menelusuri bibliografi ilmu fiqih yang sesuai dengan konteks sejarah yang dialaminya. Para ulama terdahulu telah mencoba untuk membuat pembagian bidang dalam ilmu fiqih ini. Sebagian dari mereka ada yang membaginya menjadi tiga bidang, yaitu ‘Ibādah (ritual), Mu‘amalah (perdata Islam), dan ‘Uqūbah (pidana Islam). Ada juga di kalangan ulama yang membaginya menjadi empat bidang, yaitu ‘Ibadah, Mu‘amalah, ‘Uqūbah, dan Munakahah. Walaupun demikian, dua bidang pokok hukum Islam telah disepakati oleh semua ahli fiqih, yaitu bidang ibadah dan bidang muamalah. Akan tetapi fiqih muamalah terbagi mencakup fiqih muamalah dalam konteks pengertian yang luas dan fiqih muamalah dalam pengertian lebih sempit.
Makna fiqih muamalah secara bahasa adalah pemahaman terbatas pada masalah interaksi antara dua orang atau lebih. Sedangkan menurut terminologi (istilah) fiqih muamalah mempunyai makna yang luas dengan merujuk kepada hukum-hukum manusia dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan keduniaan. Sedangkan fiqih muamalah dalam pengertian yang lebih sempit adalah segala bentuk transaksi yang membolehkan tukar menukar barang atau jasa.
Fiqih muamalah yang merujuk kepada makna yang luas menurut Fathi ‘Utsman, dapat dibagi menjadi tujuh yaitu ; (1) al-Ahkam al-Ahwal al-Shahsiyyah (hukum perdata); (2) al-Ahkam al-Maddiyyah (hukum kebendaan); (3) al-Ahkam al-Jinā’iyyah (hukum pidana); (4) al-AÍkam al-Murafa’at (hukum acara perdata dan peradilan); (5) al-Ahkam al-Dustūriyyah (hukum kelembagaan dan birokrasi); (6) al-Ahkam al-Dawliyyah (hukum internasional); dan (7) al-Ahkam al-Iqtishodiyyah wa al-Maliyyah (hukum ekonomi dan keuangan).
Sedangkan fiqih muamalah dalam makna yang lebih sempit menurut al-Fikrī dalam kitabnya “al-Mu‘amalah al-Maddiyyah wa al-Adabiyyah” terbagi menjadi mu‘amalah maddiyyah dan mu‘amalah adabiyyah. Al-Mu‘amalah al-Maddiyah ialah muamalah yang mengkaji objek yang dijadikan barang dalam proses jual beli (al-mabi‘) sehingga sebagian ulama berpandangan bahwa Mu‘amalah Maddiyyah adalah muamalah yang bersifat kebendaan. Hal ini karena, objek fiqih muamalah mencakupi benda yang halal, haram dan syubhat untuk diperjualbelikan, benda-benda yang memudaratkan dan benda yang mendatangkan kemaslahatan bagi manusia.
Al-Mu‘amalah al-Adabiyyah ialah muamalah yang ditinjau dari segi cara tukar-menukar benda yang bersumber dari pancaindera (al-hawas al-khamsah) manusia, yang unsur penegaknya adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban, misalnya jujur, hasad, dengki dan dendam
Telaah terhadap fiqh muamalah pasti melibatkan kreatifitas berfikir. Sebab ayat-ayat tentang fiqhih muamalah bersifat goloba dan pedoman dasar saja. Oleh karenanya, ijtihad para ulama dalam merespon perkembangan bisnis modern merupakan suatu keniscayaan.
Menurut Al-Qarāfi (w. 684H) terdapat tiga kaedah untuk memaparkan kedudukan ulama dalam berijtihad; Pertama, al-Wad‘u, yaitu pembuat atau pihak yang menjadikan kata itu memiliki arti atau makna tertentu; Kedua, al-Isti‘mal, yaitu pemakaian kata yang arti dan maksudnya sering berubah karena faktor budaya. Secara konseptual, kata yang digunakan oleh seseorang memiliki dua pengertian: Pengertian awal sesuai dengan yang dirumuskan oleh pembuatnya, dan pengertian yang diubah karena konteks dan susunan kalimat yang digunakan. Pengertian pertama disebut makna wadl’i, dan yang kedua disebut makna isti’mali. Dan Ketiga, al-Haml, yaitu ulama yang mencoba menangkap makna dari apa yang dikatakan atau apa yang ditulis oleh seseorang (dilalatullafzhi).
Menurut Imām al-Ghazāli, ijtihad bukan sebuah pekerjaan yang bersifat umum yang tidak terbagi-bagi, akan tetapi seseorang dapat dikatakan melakukan ijtihad jika ia melakukan ijtihad dalam beberapa masalah hukum saja (ijtihad juz’i). Apa yang perlu diketahui seorang mujtahid adalah aspek-aspek pengetahuan yang berhubungan dengan kemampuan untuk memecahkan persoalan yang dihadapinya. Bahkan mujtahid besar, pendiri madzhab bukanlah orang yang sepenuhnya memiliki pengetahuan yang diperlukan untuk berijtihad. Contohnya, Imām Abū Hanifah atau Imām Syāfi‘i tidak sepenuhnya menguasai ilmu hadits
Produk ijtihad dapat dibedakan menjadi empat, yaitu fiqih, qanun, qadha`i’ dan fatwa. Memberi fatwa lebih khusus dibandingkan dengan ijtihad. Hal ini karena, ijtihad adalah kegiatan istinbat hukum baik karena ada pertanyaan atau tidak, sedangkan ifta’ hanya dilakukan ketika ada kejadian nyata dan seorang ahli fiqihberusaha mengetahui hukumnya. Perbedaan fatwa dan qadha’ terletak pada orang yang memberi keputusan dan hasil keputusan tersebut. Jika fatwa dilakukan oleh orang yang mempunyai sifat khusus sebagai mufti, maka qadha` (putusan) dilakukan oleh hakim (qadhi).
Menurut Imām al-Ghazāli, syarat seorang mufti agar fatwanya dapat diterima dan dijadikan pegangan, selain memenuhi syarat yang telah ditetapkan kepada mujtahid juga mesti adil dan mampu menjauhi perbuatan maksiat, terutama yang dapat mempengaruhi keadilan. Mufti yang tidak adil tidak dapat diterima fatwanya, kecuali untuk dirinya sendiri.
Menurut Muhammad Abū Zahrah, untuk implementasi keadilan dalam menetapkan hukum yang telah dijelaskan oleh pelbagai madzhab, seorang mufti harus memperhatikan dan berpegang pada tiga perkara berikut, yaitu; Pertama, tidak memilih pendapat yang tidak pasti dalilnya. Kedua, fatwanya membawa kemaslahatan bagi masyarakat secara luas dan harus membimbing masyarakat dengan mengambil jalan tengah, yaitu tidak mengambil pendapat yang paling berat dan tidak pula mengambil pendapat yang paling ringan. Ketiga, dalam memilih pendapat, ia mesti mempunyai niat dan tujuan yang baik. Oleh sebab itu, ia tidak boleh memilih pendapat hanya untuk menyenangkan pemerintah/penguasa atau memenuhi keinginan (selera) masyarakat, sementara ia tidak mempedulikan murka dan ridha Allah SWT
Fatwa adalah sesuatu yang tidak dapat dihindarkan umat Islam pada zaman Rasulullah Saw dan zaman sesudah itu setelah dakwah Islam tersebar ke seluruh penjuru dunia untuk mendapatkan kepastian hukum tentang masalah keagamaan dan sosial yang dihadapi masyarakat. Karenanya, fatwa bersifat domestik, sesuai keadaan, dan bersifat kontemporer sesuai dengan kenyataan yang terjadi pada saat itu.
Di era modern ini, berbagai soal transaksi direspon da dileglkan melalui fatwa, baik fatwa yang keluarkan secara individu atau secara kolektif. Biasanya, masalah muamalah yang akan dilegalkan secara nasional atau internasional selalu dijawab melalui fatwa kolektif. Yaitu lembaga yang secara resmi dibentuk khusus untuk menanggapi masalah ekonomi Islam. Angotanya terdiri dari berbagai disiplin ilmu, seperti ulama, pakar hukum Islam, ahli ekonomi, dan praktisi.
Inovasi Transaksi Modern
Di era tehnologi dan informasi semua transaksi berbasis online. Konsekuensinya perdagangan menadi digital yang tidak dibatasi oleh ruang, waktu dan tempat. Suatu negara dapat dengan mudah dan cepat menakses negara lain secara online. Pola perdagangan inilah yang melahir bisnis berbasis keuangan dan berbagai macam model transaksi. Beberapa model transaksi modern yang direspons oleh fiqih muamalah dapat dibagi kepada empat model besar, yaitu perbankan, asuransi, gadai dan pasar modal. Empat model ini tela terwadahi dalam lembaga keuangan syariah.
Transasksi Perbankan
Fungsi Bank secara garis besar adalah sebagai lembaga intermediasi (intermediary institution) yang mengerahkan dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana-dana tersebut kepada masyarakat yang membutuhkannya dalam bentuk fasilitas pembiayaan. Perbedaan pokoknya terletak dalam jenis keuntungan yang diambil bank dari transaksi-transaksi yang dilakukannya. Bila bank konvensional mendasarkan keuntungannya dari pengambilan bunga, maka Bank Syariah dari apa yang disebut sebagai imbalan, baik berupa jasa (fee-base income) maupun mark-up atau profit margin, serta bagi hasil (loss and profit sharing).
Konsep teoritis mengenai Bank Islam muncul pertama kali pada tahun 1940-an, dengan gagasan mengenai perbankan yang berdasarkan bagi hasil. Berkenaan dengan ini dapat disebutkan pemikiran-pemikiran dari penulis antara lain Anwar Qureshi (1946), Naiem Siddiqi (1948) dan Mahmud Ahmad (1952). Uraian yang lebih terperinci mengenai gagasan pendahuluan mengenai perbankan Islam ditulis oleh ulama besar Pakistan, yakni Abul A’la Al-Mawdudi (1961) serta Muhammad Hamidullah (1944-1962)
Batasan pengertian prinsip syariah sebagai aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara Bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan Syariah, antara lain, pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak Bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).
Namun berkenaan dengan perkembangan dengan kemajuan dan mobilitas masyarakat, akad-akad ini mengalami evolusi dan inovasi sesuai dengan kemajuan masyarakat. Seperti kasus kartu kredit (bithaqah al I’timan) menggunakan akad ijarah, kafalah dan qardl. Transaksi ini tidak hanya menggunakan satu akad tetapi dengan cara menggabungkan berbagai akad dalam satu pelaksanaan transaksi. Sebab, para pihak tidak dapat memanfaat transaksi itu jika tidak menggabungkan beberapa akad (muta’adidah/multi akad).
ini menggunakan akad kafalah dan ijarah atau akad al-qardh dan ijarah. Akad kafalah digunakan dalam hal ini di mana penerbit kartu adalah penjamin (kafil) bagi pemegang kartu terhadap merchant atas semua kewajiban bayar (dayn) yang timbul dari transaksi antara pemegang kartu dengan merchant, dan/atau pencairan tunai dari selain bank atau Anjungan Tunai Mandiri (ATM) bank penerbit kartu, sedangkan akad al-qardh digunakan pada saat melakukan penarikan tunai dari bank atau ATM. Adapun fee yang dikenakan kepada pemegang kartu kredit atas jasa sistem pembayaran dan layanan terhadap pemegang kartu adalah menggunakan akad ijarah.
Prinsip akad kafalah bertujuan untuk kebaikan (tabarru‘) semata-mata dengan mengaharap ridha Allah SWT. Orang yang menjamin (dhamin) pembayaran hutang orang lain akan dapat memohon ganti rugi uang yang dibayarkan, namun akan lebih baik jika penjamin tidak meminta ganti uang yang dibayar karena jaminan itu adalah tanggungan orang yang dijamin, di mana penjamin bermaksud menolong dan semata-mata berbuat baik. Akad kafalah yang meminta ganti terhadap harta yang dibayarkan disebut sebagai akad tabarru‘ pada saat akad dan disebut juga dengan nama akad tukar menukar ketika selesai akad. Akad kafalah yang membebankan pembiayaan kepada pihak yang ditanggung (al-madmun ‘anh) merupakan pengalihan dari prinsip akad ijarah yang berdasarkan tabarru‘ menjadi akad kafalah yang didasarkan kepada ijarah. Dalam akad kafalah beban biayanya itu hanya terjadi dalam keadaan yang kurang stabil dan sangat diperlukan atau mendesak.
Transaksi Asuransi
Ada berbagai cara bagaimana manusia menangani risiko terjadinya musibah. Cara pertama adalah dengan menanggungnya sendiri (risk retention), yang kedua, mengalihkan risiko ke pihak lain (risk transfer), dan yang ketiga, mengelolanya bersama-sama (risk sharing). Cara yang ketiga inilah filosofi dan dasar dalam asuransi syariah. Jadi, Risk sharing inilah sesungguhnya esensi asuransi dalam Islam, di mana di dalamnya diterapkan prinsip-prinsip kerjasama, proteksi dan saling bertanggungjawab (cooperation, protection, mutual responsibility).
Masyarakat tradisional menghadapinya secara pribadi dan tidak terenca. Kemudian di era modern menghadapi risiko dilakukan secara terencana, terorganisir dan terlembaga. Pada dasarnya Asuransi adalah semangat bergotong royong (takaful) dalam menghadap risiko secara kolektif, terencana dan termanaje.
Menurut sejarah, perkembangan asuransi baru muncul pada abad 13-14 di Itallia, disaat terdapat sebagian orang yang siap menanggung risiko-risiko di laut yang kerap menimpa perahu layar atau penumpangnya dengan imbalan uang tertentu. Lalu setelah tiga abad, munculah asuransi darat. Awalnya dalam bentuk asuransi kebakaran, yaitu selepas terjadinya kebakaran yang cukup besar di London pada tahun 1666 M yang melalap lebih dari 13000 rumah. Kemudian pada abad kedelapan belas sampai pertengahan abad kesembilan belas seiring dengan revolusi industri dan meningkatnya resiko tenaga kerja serta banyaknya alat industri muncul bentuk asuransi lainnya, seperti asuransi seseorang yang mengasuransikan dirinya dari sebuah bahaya yang mungkin menimpa hartanya, seperti juga mengasuransikan mobilnya dari kecelakaan, kematian atau yang lain sebagainya.
Sedangkan secara legalitas keislaman, sistem asuransi syariah baru diakui dan diadopsi oleh ulama dunia pada tahun 1985. Pada tahun ini, Majma al-Fiqh al-Islami mengadopsi dan mengesahkan takaful sebagai sistem asuransi yang sesuai dengan syariah. Meskipun sebenarnya, ulama yang pertama membahas tentang asuransi adalah Ibnu Abidin (1784–1836 M./1252 H.). Ibnu Abidin adalah seorang ulama bermazhab Hanafi, yang mengawali untuk membahas asuransi dalam karyanya yang popular, yaitu Hasyiyah Ibn Abidin, Bab Jihad, Fashl Isti’man Al-Kafir dan kitab Raddu al Muhtar ’Ala al Dar al Mukhtar.
Sebenarnya perbedaan utama antara asuransi syariah dan konvensional terletak pada tujuan dan landasan operasional. Dari sisi tujuan, asuransi syariah bertujuan saling menolong (ta’awuni) sedangkan dalam asuransi konvensional tujuannya penggantian (tabaduli). Kepemilikan dana pada asuransi syari’ah merupakan hak peserta. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Pada asuransi konvensional, dana yang terkumpul dari nasabah (premi) menjadi milik perusahaan, sehingga perusahaan bebas menentukan alokasi investasinya.
Dalam Asuranasi Islam menggunakan akad wakalah dan tabarru’ atau mudlarabahdan ta’awun. Implementasi akad takafuli dan tabarru‘ dalam sistem asuransi syariah diadakan dalam bentuk pembagian setoran premi menjadi dua. Untuk produk yang mengandung unsur tabungan (saving), maka premi yang dibayarkan akan dibagi ke dalam rekening dana anggota dan satunya lagi rekening tabarru‘. Sedangkan untuk produk yang tidak mengandung unsur tabungan (non saving), setiap premi yang dibayar akan dimasukkan seluruhnya ke dalam rekening tabarru‘. Keberadaan rekening tabarru‘ menjadi sangat penting untuk menjawab pertanyaan ketidakjelasan asuransi dari sudut tuntutan pembayaran.
Adapun asuransi akad tijari adalah model mudharabah dan ta’awun. Secara teknisnya, mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak di mana pihak pertama menyediakan 100 persen modal sedangkan pihak kedua menjadi pengelola. Di sini terjadi pembagian untung rugi antara (shahib al-mal) dan pihak pengelola/perusahaan asuransi (mudharib). Keuntungan usaha secara mudharabahdibagikan menurut kesepakatan yang dicatat dalam kontrak, sedangkan apabila terjadi kerugian, ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian tersebut bukan akibat kelalaian pengelola.
Dalam model mudharabah, seluruh peserta bertanggung jawab terhadap musibah yang dialami peserta lain termasuk untuk membayar beban-beban asuransi lain (biaya reasuransi, medical expenses, legal fee, dan lainnya). Sedangkan pengelola (operator) hanya bertanggung jawab terhadap semua pengeluaran yang terkait dengan operasional dan hasil investasi sesuai dengan kapasitasnya dalam akad mudharabah. Berbeda dengan akad mudharabah adalah akad wakalah, takaful yang berfungsi sebagai wakil peserta di mana dalam menjalankan fungsinya (sebagai wakil), Takaful berhak mendapatkan biaya jasa (fee) dalam mengelola keuangan mereka.
Hukum ssuransi mengetengahkan pendapat hukum muamalah yang dapat diterima oleh semua pihak dalam hal yang menjadi perbedaan masyarakat (ibda‘ al-qawl al-tsalits fi al-masa’il al-khilafiyyah). Yaitu tetap mengikut salah satu imam madzhab fiqih meskipun tidak secara keseluruhan diterapkan. Yaitu kafalah atau mudlarabah di satu sisi dan akad tabarru’ untuk saling memberi. Hal ini ditetapkan karena asuransi sudah menjadi urf dan maslahah bagi masyarakat.
Transaksi Pasar Modal
Pasar modal adalah tempat di mana modal diperdagangkan antara pihak yang memiliki kelebihan modal (investor) dengan orang yang memerlukan modal (issuer) untuk mengembangkan investasi. Pasar modal sama seperti pasar biasa pada umumnya, yaitu tempat bertemunya penjual dan pembeli dengan objek yang diperjualbelikan adalah hak kepemilikan perusahaan dan surat pernyataan hutang perusahaan.
Di Indonesia, Langkah awal perkembangan pasar modal Islam (pasar modal syariah) dimulai dengan membentuk reksadana (mutual fund) syariah, Jakarta Islamic Index (JII) serta Obligasi Syariah (Islamic Bond) yang efektif mulai 30 Oktober 2002. Sedangkan Pasar Modal Syariah sendiri mulai diresmikan pada 14 Maret 2003. Dalam kandungan isinya, pasar modal syariah sama dengan pasar modal konvensional, namun ada beberapa peraturan-peraturan syariah yang harus dipatuhi.
Pasar modal merupakan tonggak penting dalam dunia ekonomi pada saat ini. Banyak industri dan perusahaan yang menggunakan institusi ini sebagai media untuk menyerap investasi dan media untuk memperkuat posisi keuangannya. Pasar modal memiliki peran yang besar dalam sistem ekonomi sebuah negara karena pasar modal menjalankan dua fungsi secara bersama, yaitu fungsi ekonomi dan fungsi keuangan.. Pasar modal dikatakan memiliki fungsi ekonomi karena pasarnya menyediakan kemudahan yang mempertemukan dua kepentingan, yaitu pihak yang memiliki kelebihan dana (investor) dan pihak yang memerlukan dana (issuer). Pasar modal dikatakan memiliki fungsi keuangan, karena memberikan kemungkinan dan kesempatan memperoleh upah (return) bagi pemilik dana sesuai dengan karakteristik investasi yang dipilih.
pelaksanaan transaksi saham harus dilakukan menurut prinsip kehati-hatian serta tidak melakukan spekulasi dan manipulasi yang di dalamnya mengandung unsur gharar, riba dan maysir. Transaksi-transaksi seperti ini meliputi: Najsy, yaitu melakukan penawaran palsu; Bay‘ al-ma‘dum, yaitu melakukan penjualan atas barang (saham) yang belum dimiliki (short selling); Insider Trading, yaitu memakai informasi orang dalam untuk memperoleh keuntungan terhadap transaksi yang dilarang; Menimbulkan informasi yang menyesatkan; Margin Trading, yaitu melakukan transaksi atas saham syariah dengan fasilitas pinjaman yang berasaskan bunga atas kewajiban penyelesaian pembelian saham syariah tersebut; Ihtikar (menimbun), yaitu melakukan pembelian atau dan penghimpunan suatu saham Syariah untuk mempengaruhi perubahan harga saham syariah, dengan tujuan mempengaruhi pihak lain.
Sebuah transaksi yang mengandung unsur gharar timbul disebabkan oleh dua sebab utama. Pertama, kurangnya informasi atau pengetahuan (jahala, ignorance) pihak yang melakukan kontrak. Jahala ini menyebabkan tidak dimilikinya control atau skill pada pihak yang melakukan transaksi. Kedua, karena tidak adanya objek. Ada pula yang membolehkan transaksi dengan objek yang secara faktual belum ada, dengan syarat pihak yang melakukan transaksi memiliki kontrol untuk hampir boleh memastikannya di masa depan.
Pada dasarnya gharar adalah bentuk transaksi yang mengandung cacat atau bahkan dapat mengakibatkan kerugian. Mungkin termasuk di dalamnya adalah setiap transaksi yang mengandung unsur ketidakpastian dan spekulasi. Namun ketidakpastian dan spekulasi bukan merupakan alasan utama mengapa suatu transaksi tidak sah disebabkan oleh gharar. Spekulasi yang dilarang dalam hukum Islam adalah transaksi yang menodai hak salah satu pihak atau para pihak yang melakukan transasksi
Secara umum, mekanisme pasar (bursa efek/stock exchange) yang sepatutnya menurut syariah meliputi beberapa aspek, yaitu: Kelayakan penawaran (penawaran yang sesuai), kelayakan permintaan dan kelayakan kekuatan pasar.
Dalam hal kelayakan penawaran, prinsip syariah melarang suatu pihak untuk menjual barang (saham) yang belum dimiliki dan juga melarang gangguan pada penawaran (mengganggu jumlah efek yang beredar). Sebagai contohnya adalah dengan melakukan penimbunan barang juga praktek membeli hasil pertanian sebelum petani tersebut sampai ke pasar. Dalam hal kelayakan permintaan, prinsip syariah melarang suatu pihak membeli atau mengajukan permintaan untuk membeli tanpa memiliki kebutuhan dan daya beli (permintaan palsu). Sedangkan dalam hal kekuatan pasar, prinsip syariah menginginkan kegiatan pasar yang layak (yang sesuai), termasuk dalam hal likuiditas perdagangan, sehingga harga yang terbentuk dalam transaksi di bursa efek (stock exchange) merefleksikan kekuatan tawar menawar pasar yang sebenarnya
Selain proses pasar, juga diperhatikan modal yang diperdagangkan. Para ahli fiqih kontemporer bersepakat bahwa haram hukumnya memperdagangkan saham di pasar modal dari perusahaan yang bergerak di bidang usaha yang haram. Misalnya, perusahaan yang bergerak di bidang produksi minuman keras, babi dan apa saja yang berkaitan dengan babi; jasa keuangan konvensional seperti bank dan asuransi; industri hiburan yang haram, seperti kasino, perjudian, pelacuran, media porno, dan sebagainya. Dalil yang mengharamkan jual-beli saham perusahaan seperti ini adalah semua dalil yang mengharamkan segala aktivitas tersebut
Kesimpulan
Dalam bidang ekonomi, Islam menempatkan self interest (maslahah al-fard) dan social interest (maslahah al-‘ammah) sebagai jaminan dan keadilan ekonomi, jaminan sosial dan pemanfaatan modal ekonomi sebagai prinsip fundamental sistem ekonominya. Menurut Islam, aktivitas ekonomi selain bertujuan untuk memperoleh keuntungan, harus memperhatikan etika dan hukum ekonomi syariah, yaitu dilakukan atas dasar suka sama suka (al-taradhi), prinsip keadilan (al-‘adalah) dan tidak saling merugikan (la darar wala dirar.
Pada dasarnya muamalah adalah mubah (boleh). Maka inovasi model transaksi merupakan suatu yang niscaya untuk menjawab tuntutan perkembangan zaman dan dinamika masyarakat. Pada kenyataannya, Modifikasi akad dapat dibedakan menjadi empat macam: Pertama, konsep fiqih muamalah yang tidak dimodifikasi karena bersifat operasional dan langsung dapat diterapkan, seperti akad salam, istishna’, ijarah, mudharabah (al-qardh), musyarakah, al-hiwalah, al-rahn, dan al-sarf.
Kedua, konsep fiqih muamalah yang dimodifikasi agar mudah diterapkan, seperti akad tabarru‘ pada asuransi dan reasuransi syariah, uang muka dalam murabahah, potongan tagihan murabahah, obligasi syariah ijarah, obligasi syariah mudharabah, denda atas pelanggan orang mampu yang menangguhkan pembayaran, ketentuan review ujrah pada Lembaga Keuangan Syariah, sertifikat wadi‘ah Bank Indonesia, pembiayaan pelbagai jasa, dan pembiayaan rekening koran Syariah.
Ketiga, konsep fiqih muamalah yang dimodifikasi dengan menggabungkan suatu akad dengan jenis akad lainnya (al-‘uqud al-murakkabah), baik dalam bentuk penggabungan dengan memberi pilihan atau penggabungan secara integrasi. Penggabungan beberapa jenis akad dalam satu objek transaksi dengan memberi pilihan terjadi pada fatwa giro, tabungan dan deposito yang bisa memilih antara akad wadi‘ah dan mudharabah; akad murabahah yang bisa memilih antara tunai dan angsuran (bay‘ al-taqsith); istishnā’ paralel; obligasi syariah yang bisa memilih antara mudharabah, musyarakah, murabahah, salam, istishna’ dan ijarah; lettter of credit (L/C), dapat memilih antara akad wakalah bi al-ujrah, wakalah bi al-ujrah dan al-qardh, wakalah bi al-ujrah dan mudharabah, dan akad musyarakah; pasar uang antar bank berdasarkan prinsip syariah yang dapat memilih antara akad mudarabah, musyarakah, qard, wadi‘ah, dan al-sarf; line facility (al-tashilat) yang dapat memilih antara akad murabahah, istisna’, mudharabah, musyarakah, dan ijarah; Syariah card(بطاقة الإئتمان) yaitu pemilihan antara akad kafalah, qard atau ijarah; dan asuransi syariah yaitu pilihan antara akad wakalah dan mudharabah. Sedangkan penggabungan beberapa jenis akad (al-‘uqud al-murakkabah) dalam satu objek transaksi secara integrasi berlaku pada akad mudarabah musyarakah yang mengintegrasikan akad mudharabah dengan musyarakah seperti produk giro, dan akad asuransi syariah yang mengintegrasikan akad tabarru‘ dengan akad wakalahatau mudharabah.
Keempat, re-akad, artinya mengganti akad yang sedang berjalan dengan akad baru karena adanya maslahah. Re-akad terjadi pada akad yang mensepakati akad murabahah yang kemudian tidak mampu meneruskannya. Maka anatara nasabah dan bank melakukan kesepakatan baru dengan memulai akad kembali, seperti akad ijarah al mntahiyah bi al tamlik.
Diterbitkan Juga Di:
http://cyberdakwah.com/2013/12/respons-fiqh-muamalah-terhadap-perniagaan-modern/