CHOLILNAFIS.COM, Ekonomi Syariah – Wakaf menurut Hanafiyah adalah menahan materi benda (al-‘ain) milik Wakif dan menyedekahkan atau mewakafkan manfaatnya kepada siapapun yang diinginkan untuk tujuan kebajikan (Ibnu al-Humam: 6/203).
Berdasarkan definisi ini maka kepemilikan harta tetap di tangan wakif, bahkan wakif dapat menariknya sewaktu-waktu dan dapat pula menjualnya.
Menurut Malikiyah, wakaf adalah menjadikan manfaat suatu harta yang dimiliki (walaupun kepemilikannya dengan cara sewa) untuk diberikan kepada orang yang berhak dengan satu akad (shighat) dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan keinginan Wakif (al-Dasuqi: 2/187). Definisi ini menegaskan bahwa harta wakaf tidak lepas dari kepemilikan wakif, namun wakaf tersebut mencegah wakif melakukan tindakan yang dapat melepaskan kepemilikannya dan wakif berkewajiban menyedekahkan manfaat serta tidak boleh menariknya.
Menurut Syafi‘iyah, wakaf adalah menahan harta yang bisa memberi manfaat serta kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki oleh Wakif untuk diserahkan kepada Nazhir yang dibolehkan oleh syariah (al-Syarbini: 2/376). Wakif sudah melepaskan hartanya untuk wakaf, sehingga tidak boleh melakukan apa saja terhadap harta wakaf, tidak boleh menjual, mewariskan dan tidak boleh dihibah serta tidak boleh menariknya kembali. Golongan ini menyaratkan harta yang diwakafkan harus harta yang kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan artian harta yang tidak mudah rusak atau musnah serta dapat diambil manfaatnya secara berterusan. Menurut Hanabilah, wakaf adalah bahasa yang sederhana, yaitu menahan asal harta (tanah) dan menyedekahkan manfaat yang dihasilkan (Ibnu Qudamah: 6/185).
Dari beberapa Definisi di atas menjelaskan bahwa harta wakaf harus dikelola secara produktif karena manfaatnya yang dapat disalurkan kepada peruntukannya. Namun ada perbedaan pendapat tentang keharusan lestarinya dan tak berkurangnya harta pokok wakaf. Menurut Hanafiyah dan malikiyah, bahwa harta pokok wakaf tidak harus kekal, bahkan boleh mewakafkan sesuatu yang habis pakai asalakan dapat dimanfaatkan atau diwakafkan dalam jangka tertentu. Berbeda dengan pendapat Syafi’iyah yang menyaratkan harta pokok wakaf harus kekal selamanya.
Pada tanggal 11 Mei 2002 Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia telah menetapkan fatwa tentang wakaf uang, yaitu boleh. Bahkan dalam keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia Majelis Ulama Indonesia di Padang Panjang tahun 2009 memperbolehkan jual wakaf benda menjadi wakaf uang atau sebaliknya, wakaf uang ditukar menjadi wakaf benda untuk tujuan kemaslahatan wakaf sesuai dengan peruntukannya. Hal ini dengan syarat adanya hajah dalam rangka menjaga maksud wakaf dan hasil penjualannya harus digunakan untuk membeli harta benda lain sebagai wakaf pengganti.
Investasi wakaf dan mengelolanya agar produktif adalah keniscayaan. Ulama memandang penting untuk pengelolaan wakaf agar tercapai tujuan wakaf. Ulama sepakat bahwa hukum wakaf adalh sunnah dan pengelolaan wakaf untuk mencapai tujuannya adalah wajib. Sebab wakaf yang tak dapat mencapai tujuan wakaf untuk diproduktifkan dikarenakan nazhirnya maka nazhir itu harus diganti, jika harta wakaf tidak produktif untuk mencapai tujuan wakaf dikarenakan benda pokoknya makan harta wakaf itu dapat ditukar dan dijual untuk diganti dengan benda wakaf lain yang dapat mencapai tujuan wakaf.