CHOLILNAFIS.COM, Jakarta – Sebelumnya, Nahdlatul Ulama (NU) fokus kepada isu nasional, keagamaan, program strategis dan pengembangan jam’iyah serta sumber daya manusia (SDM). Kini NU dilanda kegelisahan teologis karena ditengarai sedang diserang paham luar, transnasional. Ada empat paham keagamaan Islam yang ditengarai gencar menyerbu warga NU dewasa ini. Yaitu Syiah, Wahabi, Libralisme pemikiran, dan Hizbut Tahrir. Warga NU pun resah. Karena pondasi NU: aqidah Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) yang merupakan warisan hakiki pendiri NU Hadratussyaikh Kiai Hasyim Asy’ari terancam pudar bahkan hilang.
Gerakan Salafi dan syiah bermula dari dua titik. Pertama, ruang urban di perumahan-perumahan di kota, kedua di pedesaan terpencil. Di perumahan-perumahan modern, kaum transnasional bisa dengan mudah mendapat kader. Sebab secara sosiologis, ikatan warga penghuni perumahan relatif longgar. Warga perumahan pada umumnya merupakan kalangan terpelajar kelas menengah keatas namun minim ilmu agama. Gerakan petroreligiositas dengan gigih berupaya merebut massa kalangan profesional. Mereka dengan bangga akan mengatakan ke hadapan publik bahwa kader dan simpatisannya merupakan kalangan terpelajar dan professional. Mereka yang memegang kekeuasaan di lini-lini strategis sehingga dengan cepat dalam penyebaran pengaruh dan pahamnya.
Kalangan awam di pedesaan terpencil juga merupakan sasaran empuk. Taktik yang dipakai mirip misionaris. Menyantuni kaum miskin sambil menyebarkan pahamnya, bahkan memberi biaya siswa untuk belajar ke pusat pengkaderan petroreligiositas. Dalam beberapa kasus sering dijumpai kalau gerakan Islam transnasional bisa berkembang karena memanfaatkan massa Islam modernis yang haus dan semangat beragama tetapi kurang memahami ilmu agama.
Syiah mencari tempat pijakan di tubuh NU, dengan alasan memiliki beberapa kesamaan kultur. Terbentuknya Lajnah Taqrib Baina Mazahib (Majelis Pendekatan Antar Mazhab, red), banyak tokoh muslim yang terkecoh sehingga mengaburkan sekat antara Syiah dengan Sunni, seakan-akan Syiah dengan Sunni itu tidak ada perbedaan dan bisa dipertemukan, walaupun secara teologis berbeda tetapi dapat dipertemukan dalam aspek-aspek fungsionalis sosiologis. Ini yang sangat membahayakan bagi warga Jam’iyah Nahdlatul Ulama, dimana Syiah itu dianggap sama dengan Sunni.
Di internet, bisa dengan mudah kita temukan bagaimana kaum Syiah mencari momen ‘meminjam’ tangan NU guna memusuhi sesama Ahlus Sunnah. Strategi dakwah Syiah saat ini yang perlu diperhatikan adalah, klaim-klaim Syiah terhadap tradisi sebagian penganut Ahlus Sunnah dan indikasi adu domba antar kelompok. Tradisi-tradisi yang menjadi isu di antaranya; pembacaan maulid Nabi saw., diba’an, perayaan keagamaan dan lain sebagainya.
Padahal antara Ahlussunnah Wal Jamaah dengan Syiah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah sangat berbeda dalam masalah akidah dan furu’nya. Rukun Iman mereka berbeda dengan rukun Iman kita, rukun Islamnya juga berbeda, begitu pula kitab-kitab haditsnya dan madzhab fikihnya. Jikalau mereka menggunakan Al-Qur’an yang sama, maka dalam menafsirkan ayat-ayatnya sangat berbeda dan berlainan. Karena tergantunga pada otoritas Imamnya.
Berbeda Syi’ah dengan Wahabi dalam mendekati warga Nahdliyin. Gerakan paham Wahabi lebih menampakkan perbedaannya dengan paham Ahlussunnah wal Jama’ah al Nahdliyah dibanding persamaannya. Cara dakwah kaum Wahabi dengan cara mencela dan memaki paham dan tradisi NU. NU sering diolok-olok oleh kaum Wahabi sebagai ahli bid’ah dan penganut taklid buta. Karenanya tidak sedikit yang memicu gesekan bahkan konflik antara penganut paham Wahabi dengan warga Nahdliyan.
Salafi Wahabi mengikuti ajaran-ajaran Para Pembaharu Agama Islam (Mujaddid) yang dimulai dari Ibnu Taimiyyah (661-728 H / 1263-1328 M atau abad ke 7 – 8 H / 13 – 14 M yakni 700 tahun setelah Nabi Saw. wafat, atau 500 tahun dari masa Imam asy-Syafi’i). Beliau mengaku penganut madzhab Hanbali, tapi anehnya beliau justru menjadi orang pertama yang menentang sistem madzhab. Pemikirannya lalu dilanjutkan muridnya Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah. Aliran ini kemudian dikenal dengan nama aliran salafi yang mengaku memurnikan ajaran Islam kembali ke al-Qur’an dan Hadits, tetapi di sisi lain mereka justru mengingkari banyak hadits-hadits Shahih (inkarus sunnah). Mereka ingin memberantas bid’ah tetapi pemahaman tentang bid’ahnya melenceng dari makna bid’ah yang dikehendaki Rasulullah saw., yang dipahami oleh para sahabat dan para ulama salaf Ahlussunnah wal Jama’ah.
Dokumen Pribadi KH. M. Cholil Nafis, Foto diambil saat peringatan Maulid Nabi bersama Nahdiyyin di Banten
Munculnya Muhammad bin Abdul Wahab di abad ke 12 H / 18 M. yang lahir di Ayibah lembah Najed (1115-1201 H/1703-1787 M) mengaku sebagai penerus ajaran Salafi Ibnu Taimiyyah dan kemudian mendirikan madzhab Wahabi. Ia pun mengaku sebagai Ahlussunnah wal Jama’ah karena meneruskan pemikiran Imam Ahmad bin Hanbal yang diterjemahkan oleh Ibnu Taimiyyah. Akan tetapi sebagaimana pendahulunya, Muhammad bin Abdul Wahab dan pengikutnya pun layaknya kaum Khawarij yang mudah mengkafirkan para ulama yang tidak sejalan dengan dia, bahkan sesama madzhab Hanbali pun ia mengkafirkanya.
Ajaran Salafi Wahabi adalah, mengkafirkan sufi Ibnu Arabi, Abu Yazid al-Bustani. Mudah mengkafirkan muslim lain. Memvonis sesat penulis dan pengamal kitab “Aqidatul Awam, dan Qashidah Burdah. Mengkafirkan dan menganggap sesat pengikut Mazdhab Asy’ari dan Maturidiyyah. Mereka menolak perayaan Maulid Nabi Muhammad karena menganggap acara tersebut sebagai acara bid’ah, dan perbuatan bid’ah menurut mereka adalah sesat semuanya. mereka menilai acara yasinan tahlilan adalah ritual bi’ah, padahal kedua amalan tersebut tidak bisa dikatakan melanggar syari’at, karena secara umum bacaan dalam susunan tahlil ada dalilnya dari al-Qur’an dan al-Hadits. Dan mereka juga menolak kitab “Ihya’ Ulumuddin” karya Imam al-Ghazali.
Aliran dan gerakan yang akhir-akhir ini berkembang di Indonesia adalah Hizbut Tahrir. Hizbut Tahrir sebetulnya adalah nama gerakan atau harakah Islamiyyah di Palestina dan bukan sebuah aliran, atau lembaga studi ilmiyah, atau lembaga sosial. Mereka hanyalah organisasi politik yang berideologi Islam dan berjuang untuk membangkitkan kembali umat Islam dari kemerosotan, membebaskan umat dari ide-ide dan undang-undang kufur, membebaskan mereka dari cengkeraman-cengkeraman dominasi negara-negara Barat (kafir) dan ingin mendirikan kembali sistem khilafah untuk menegakkan hukum Allah SWT. dalam realita kehidupan.
Gerakan yang muncul pertama kali di Quds Palestina ini, selain mengusung konsep khilafah kubra, juga menolak sistem pemerintahan demokrasi yang dianut sebagian besar negara di dunia. Tujuan besar mereka adalah memulai kehidupan Islami dengan cara menancapkan tonggak-tonggak Islam di bumi Arab baru kemudian merambah khilafah Islamiyah ke seluruh penjuru dunia.
- Menjaga Nahdlahtul Ulama
Beridirnya Nahdlatul Ulama tidak lepas dari “pertarungan” paham dan pemikiran Islam. NU lahir karena merespons pemikiran dan gerakan Wahabi di Arab Saudi. Saat itu, umat Islam Ahlussunnah wal Jama’ah di seluruh dunia memprotes rencana pemerintahan baru di Hijaz yang ingin memberlakukan asas tunggal, yakni madzhab Wahhabi.
Protes luar biasa pun muncul di Indonesia. Pada bulan Januari 1926 ulama-ulama Ahlussunnah wal Jama’ah di Indonesia berkumpul di Surabaya untuk membahas perubahan ajaran di dua kota suci. Dari pertemuan tersebut lahirlah panita Komite Hijaz yang diberi mandat untuk mengahadap raja Ibnu Sa’ud guna menyampaikan masukan dari ulama-ulama Ahlussunah wal Jama’ah di Indonesia. Akan tetapi karena belum ada organisasi induk yang menaungi delegasi Komite Hijaz, maka pada tanggal 31 Januari 1926, ulama-ulama Ahlussunnah wal Jama’ah Indonesia kembali berkumpul dan membentuk organisasi Induk yang diberi nama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Para Ulama) dengan Rois Akbar Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari.
Diantara materi yang disampaikan langsung ke hadapan raja Ibnu Sa’ud adalah meminta kepada raja Ibnu Sa’ud untuk memberlakukan kebebasan bermadzhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali, juga meminta tetap diramaikannya tempat bersejarah karena tempat tersebut telah diwakafkan untuk masjid.
Pesan Syekh Hasyim Asy’ari menyerukan agar meninggalkan fanatisme buta kepada satu madzhab. Sebaliknya ia mewajibkan untuk membela agama Islam, berusaha keras menolak orang yang menghina al-Qur’an, dan sifat-sifat Allah SWT, dan memerangi pengikut ilmu-ilmu batil dan akidah yang rusak. Usaha dalam bentuk ini wajib hukumnya. Menurut Syekh Hasyim Asy’ari, fanatisme terhadap perkara furu’ itu tidak dipernkenankan oleh Allah SWT., tidak diridlai oleh Rasulullah saw (al-Tibyan, hal. 33). Oleh sebab itu ia menyeru untuk bersatu padu, apapun mazhab fikihnya. Selama ia mengikuti salah satu madzhab yang empat, ia termasuk Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Jika berdakwah dengan orang yang berbeda madzhab fikihnya, ia melarang untuk bertindak keras dan kasar, tapi harus dengan cara yang lembut. Sebaliknya, orang-orang yang menyalahi aturan qath’i tidak boleh didiamkan. Semuanya harus dikembalikan kepada al-Qur’an, hadis, dan pendapat para ulama terdahulu. Inilah sikap adil, yakni menempatkan perkara pada koridor syariah yang sebenarnya. Ditulis dalam Muqaddimah al-Qanun al-Asasi li Jam’iyati Nadlatu al-‘Ulama, Seykh Hasyim Asy’ari mewanti agar berhati-hati jangan jatuh pada fitnah – yakni orang yang tenggelam dalam lautan fitnah, yaitu berdakwah mengajak kepada agama Allah akan tetapi dalam hati ia durhaka kepada-Nya.
Sejak NU didirikan, Syeikh Hasyim Asy’ari sudah mengeluarkan rambu-rambu peringatan terhadap paham menyimpang. Peringatan tersebut dikeluarkan agar warga NU ke depan hati-hati menyikapi fenomena perpecahan akidah. Pada sekitar tahun 1330 H terjadi infiltrasi beragam ajaran dan tokoh-tokoh yang membawa pemikiran yang tidak sesuai dengan mainstream Muslim Jawa, yakni berakidah Ahlussunnah wal Jama’ah. Kiai Hasyim mengkritik orang-orang yang mengaku-ngaku pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab, dengan menggunakan paradigma takfir terhadap madzhab lain, penganut aliran kebatinan dan kaum Syiah Rafidhah.
Aliran Syiah yang mencaci sahabat Abu Bakar dan Umar adalah aliran yang dilarang untuk diikuti. Bagaimana bermuamalah dengan penganut Rafidhah? Beliau mengutip penjelasan Qadhi Iyadh tentang hadits orang yang mencela sahabat, bahwa ada larangan untuk shalat dan nikah dengan pencaci maki sahabat tersebut. Karena mereka sesungguhnya menyakiti Rasulullah saw. Padahal pada masa itu aliran Syi’ah belum sepopuler sekarang, akan tetapi Kiai Hasyim Asya’ari memberi peringatan tentang penyimpangan Syi’ah melalui berbagai karyanya. Antara lain; “Muqaddimah Qanun Asasi li Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’, “Risalah Ahlu al-Sunnah wal Jama’ah,al-Nur al-Mubin fi Mahabbati Sayyid al-Mursalin” dan “al-Tibyan fi Nahyi ‘an Muqatha’ah al-Arham wa al-Aqrab wa al-Akhwan”.
Beliau mengatakan: “Di zaman akhir ini tidak ada madzhab yang memenuhi persyaratan kecuali madzhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali). Adapun madzhab yang lain seperti madzhab Syi’ah Imamiyyah dan Syi’ah Zaidiyyah adalah ahli bid’ah. Sehingga pendapat-pendapatnya tidak boleh diikuti” (Muqaddimah Qanun Asasi li Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’, halaman 9). Syeikh Hasyim Asy’ari mengemukakan alasan mengapa Syi’ah Imamiyyah dan Zaidiyyah termasuk ahli bid’ah yang tidak sah untuk diikuti. Dalam kitab Muqaddimah Qanun Asasi halaman 7 mengecam golongan Syi’ah yang mencaci bahkan mengkafirkan sahabat Nabi saw.
Kiai Hasyim Asy’ari juga tidak pernah mengajarkan paham liberalisme, pluralisme, dan sekularisme. Beliau mengatakan bahwa agama Yahudi dan Kristen telah menyimpang. Hanya Islam lah agama wahyu yang orisinil, yang harus tetap dijaga dan dipeluk. Syaikh Hasyim Asy’ari sangat menentang ide penyamaan agama, dan memerintahkan untuk melawan terhadap orang yang melecehkan Al-Qur’an, dan menentang penggunaan ra’yu mendahului nash dalam berfatwa (lihat Risalah Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah).
Kitab Risalah Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah, karangan Kiai Hasyim Asy’ari
Berkenaan dengan isu sisten khilafah, maka NU dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama yang diadakan pada tanggal 1-2 nopember 2104 memutuskan beberapa poin penting untuk menyikapi ajakan pada sistem khilafah. Diantaranya: Islam tidak menentukan apalagi mewajibkan suatu bentuk negara dan sistem pemerintahan tertentu bagi para pemeluknya. Umat diberi kewenangan sendiri untuk mengatur dan merancang sistem pemerintahan sesuai dengan tuntutan perkembangan kemajuan zaman dan tempat. Namun yang terpenting suatu pemerintahan harus bisa melindungi dan menjamin warganya untuk mengamalkan dan menerapkan ajarankan agamanya dan menjadi tempat yang kondusif bagi kemakmuran, kesejahteraan dan keadilan.
Khilafah sebagai salah satu sistem pemerintahan adalah fakta sejarah yang pernah dipraktikkan oleh al-Khulafa` al-Rasyidun. Al-Khilafah al-rasyidah adalah model yang sangat sesuai dengan eranya; yakni ketika kehidupan manusia belum berada di bawah naungan negara-negara bangsa (nation states). Masa itu umat Islam sangat dimungkinkan untuk hidup dalam satu sistem khilafah. Pada saat umat manusia bernaung di bawah negara-negara bangsa (nation states) maka sistem khilafah bagi umat Islam sedunia kehilangan relevansinya. Bahkan membangkitkan kembali ide khilafah pada masa kita sekarang ini adalah sebuah utopia.
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah hasil perjanjian luhur kebangsaan di antara anak bangsa pendiri negara ini. NKRI dibentuk guna mewadahi segenap elemen bangsa yang sangat mejemuk dalam hal suku, bahasa, budaya dan agama. Sudah menjadi kewajiban semua elemen bangsa untuk mempertahankan dan memperkuat keutuhan NKRI. Oleh karena itu, setiap jalan dan upaya munculnya gerakan-gerakan yang mengancam keutuhan NKRI wajib ditangkal. Sebab akan menimbulkan mafsadah yang besar dan perpecahan umat.
Umat Islam tidak boleh terjebak dalam simbol-simbol dan formalitas nama yang tampaknya islami, tetapi wajib berkomitmen pada substansi segala sesuatu. Dalam adagium yang populer di kalangan para ulama dikatakan: العبرة بالجوهر لا بالمظهر “ Yang menjadi pegangan pokok adalah substansi, bukan simbol atau penampakan lahiriah ”العبرة بالمسمى لا بالإسم“ Yang menjadi pegangan pokok adalah sesuatu yang diberi nama, bukan nama itu sendiri”Dengan demikian, memperjuangkan tagaknya nilai-nilai substantif ajaran Islam dalam sebuah negara—apapun nama negara itu, Islam atau bukan—jauh lebih penting daripada memperjuangkan tegaknya simbol-simbol negara Islam.
Penjelasan-penjelasan tersebut merupakan usaha NU dan Kiai Hasyim untuk membendung keyakinan yang mendekonstruksi akidah Ahlussunnah wal Jama’ah di kalangan jam’iyah NU secara khusus dan umat Islam di Nusantara secara umum. Bahkan menurutnya, kelompok-kelompok yang menyimpang tersebut lebih berbahaya bagai kaum Muslimin daripada kekufuran lainnya. Sebab, kalangan Muslim awam mudah terkecoh dengan penampilan mereka, apalagi bagi kalangan yang awam dalam bahasa arab dan syariah.
Mereka wajib dibendung. Bahwa nahi munkar terhadap aliran menyimpang dan merusak persatuan umat harus dilakukan sesuai petunjuk syariat. Tidak boleh nahi munkar dengan cara munkar pula atau menimbulkan fitnah baru. Sehingga tidak menyudahi kemungkaran namun akan menambah kemungkaran itu sendiri, yakni menambah umat Islam makin menyimpang akidahnya. Sebagaimana dilarangnya sedekah dengan harta hasil curian. Tapi di sini bukan larangan nahi mungkar dengan ‘tangan’, namun yang dilarang adalah yang melanggar syariah.
Sumber Gambar: http://www.nu.or.id/o-images/image
Warga NU perlu bersatu padu untuk menjaga paham dan kemurnian NU. Para tokoh NU yang berstatus akademisi atau mereka yang menempuh pendidikan di perguruan tinggi wajib didayagunakan. Kombinasi antara kiai salaf dengan kiai universitas wajib dilakukan demi dakwah di kota-kota. Tanpa dukungan akademisi, dakwah NU akan diminorkan kaum urban. Demikian juga, tanpa dakwah yang kreatif dan pembinaan masyarakat desa dan terpencil oleh ulama salaf maka warga NU akan dijarah oleh ajakan paham agama dan kepercayaan yang bertentangan dengan Ahlusssunnah wal Jama’ah. Di kota dan di desa terpencil, NU harus lebih kreatif dalam dakwahnya demi melindungi kaum abangan dan pinggiran. Menjaga warga NU berarti menjaga Islam di Nusantara yang sekaligus merawat NKRI.