CHOLILNAFIS.COM, BAGIAN 7 (Fikih Keluarga) – Nikah beda agama mengundang kontroversi, pasalnya dalam Al-Qur’an sendiri ada dua isyarat, jika berdasar surat Al-Baqarah ayat 221, nikah beda agama tidak mutlak haram, yang diharamkan nikah dengan orang musyrik.
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا ۚ وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُولَٰئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ ۖ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ ۖ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al-Baqarah: 221)
Ulama telah sepakat akan keharaman menikahi orang musyrik. Yang menjadi kontroversi adalah keharaman menikahi ahlul kitab. Karena berdasar surat al-Maidah ayat 5, nikah dengan ahlul kitab hukumnya diperbolehkan.
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ ۖ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ ۖ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ ۗ وَمَنْ يَكْفُرْ بِالْإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Pada hari Ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu, bila kamu Telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.” (QS. Al-Maidah: 5)
Namun demikian, ayat yang terakhir mengundang kontroversi, persoalannya apakah yang dimaksud ahlul kitab itu seluruh pemeluk agama samawi saat ini selain Islam. Di sinilah ulama berbeda pendapat dalam menafsirkannya.
Para ahli tafsir, dalam menjelaskan kata musyrik selalu mencontohkan dengan agama majusi (penyembah api) dan watsani (penyembah berhala). Ada juga sebagai mufassir yang mendefinisikan musyrik dengan “semua orang kafir yang tidak bergama Islam.” Dengan pengertian ini maka umat Yahudi dan Nasrani tergolong musyrik. Dan ayat di atas dengan tegas melarang pernikahan seorang mukmin dengan wanita musyrikah begitu juga sebaliknya seorang mu’minah dengan lelaki musyrik.
Imam Al-Qurthubi menyetir ketetapan ijma’ al-ummah bahwa seorang musyrik tidak boleh menikahi seorang mu’minah apapun alasannya. Imam Asy-Syaukani menyebutkan sebuah riwayat bahwa seorang sahabat bernama Murtsid bin Abi Murtsid pernah didatangi bekas orang yang pernah dicintainya dulu waktu di zaman jahiliyah. Wanita itu lalu minta untuk dizinahi. Murtsid segera menjawab: Wah, itu tidak mungkin, sebab saya sudah masuk Islam, dan Islam telah menjadi penghalang di antara kita. Lalu wanita itu minta agar dinikahi saja. Murtsid berkata: kalau begitu saya akan menemui Rasulullah dulu. Lalu turunlah ayat di atas. (Al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur’ân, III/63).
Dari sini jelas bahwa tidak mungkin seorang yang beriman menikah dengan seorang yang masih kafir. Maka jika ada seorang yang mengaku mu’min atau mu’minah, kemudian ia ternyata rela dan berani melakukan pernikahan dengan seorang yang musyrik atau musyrikah, itu berarti dalam keimanannya ada masalah. Sebab dengan terang-terangan ia telah berani melanggar ketentuan Allah seperti dalam ayat di atas.
Dalam ayat di atas, hanya disebutkan istilah musyrikah atau musyrik, tetapi belum disebutkan istilah ahlul kitab, sementara dalam surat Al-Maidah ayat 5, Allah membolehkan pernikahan denga ahlul kitab. Ahlul Kitab menurut pengertian Al-Qur’an adalah kaum Nasrani dan Yahudi, seperti disinyalir dalam firman Allah: “(Kami turunkan Al-Quran itu) agar kamu (tidak) mengatakan: “Bahwa Kitab itu Hanya diturunkan kepada dua golongan saja sebelum kami (yakni orang-orang Yahudi dan Nasrani)” (Al-An’am:156).
Mayoritas ulama (jumhur) membolehkan seorang mu’min menikah dengan wanita ahlul kitab (dari umat Yahudi atau Nasrani). Dan ini pendapat yang kuat (rajih). Bahkan ada sebagian yang mengatakan –seperti Imam Al-Jashshash – tidak ada khilaf di dalamnya, kecuali Abdullah bin Umar yang memandangnya makruh (lihat Ahkâm al-Qur’ân, II/ 324). Namun kendati demikian menikah dengan wanita muslimah tetap harus diutamakan. Sebab pada hakekatnya, di antara hikmah dibolehkannya adalah dalam rangka untuk mengislamkannya. Dan seorang suami mu’min sebagai kepala rumah tangga tentu sangat berperan dan menentukan dalam proses tersebut.
Berbeda halnya jika sang istri muslimah dan suami non-muslim. Sang istri tentu sangat berat untuk mempengaruhi sang suami, bahkan bisa dipastikan sang istri akan kewalahan. Sebab tabiat seorang istri biasanya selalu ikut apa kata suami. Atas dasar ini mengapa seorang muslimah tidak boleh bersuamikan seorang ahlul kitab.
Beberapa alasan yang menguatkan bolehnya seorang muslim beristrikan wanita ahlul kitab sebagai berikut:
- Bahwa kata musyrikât pada ayat di atas tidak termasuk ahlul kitab, dalilnya: Orang-orang kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu” (Al-Baqarah:105) Di sini nampak dibedakan antara orang-orang musyrik dengan ahlul kitab. Begitu juga dalam surat Al-Bayyinah Allah berfirman: “Orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata”. (Al-Bayyinah:1). Dikatakan bahwa wawu athaf menunjukkan perbedaan (al-mughâyarah). Dengan ini jelas bahwa ahlul kitab bukan orang-orang musyrik. Kalau pun dikatakan bahwa mereka tergolong musyrik, maka dengan ayat tersebut nampak adanya pengkhususan, seakan dikatakan: “Tidak boleh menikah dengan wanita musyrikah kecuali wanita ahlul kitab.”
- Allah berfirman: “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik, makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (Tidak menerima hukum-hukum Islam), maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi” (Al-Maidah:5). Ini menunjukkan bahwa menikah dengan wanita ahlul kitab hukumnya boleh.
- Diriwayatkan bahwa Utsman bin Affan r.a. menikah dengan Nailah Al-Kalbiyah, wanita Yahudi, begitu juga Thalhah bin Ubaidillah ra. menikah dengan wanita Yahudi dari penduduk Syam. Dan tidak ada satu pun riwayat yang mengatakan bahwa salah seorang sahabat menentang pernikahan tersebut. Dari sini nampak bahwa mereka bersepakat atas bolehnya menikah dengan wanita ahlul kitab.
Walhasil, bahwa sekalipun pernikahan dengan wanita ahlul kitab hukumnya boleh, namun lebih utama seorang muslim tidak melakukannya. Salah seorang alim besar dalam Madzhab Hanafi, Kamal bin Hummam berkata: Memang boleh menikah dengan wanita ahlul kitab, tetapi lebih baiknya seorang muslim tidak melakukannya, kecuali dalam kondisi darurat” (lihat Fathul Qadîr, Syarh al-Hidayah fî fiqh al-Hanafiyah, III/228). Pesan Kamal bin Hummam ini ternyata ada dasarnya: diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab pernah menyuruh sahabatnya Hudzaifah untuk menceraikan istrinya yang tergolong kaum Yahudi. Hudzaifah bertanya: Apakah kamu melihat bahwa pernikahan seperti ini hukumnya haram? Umar menjawab: Tidak, tetapi saya takut hal ini kelak menjadi contoh yang diikuti banyak orang. Umar benar dalam sikapnya ini, sebab jika kemudian pernikahan seperti tersebut, benar-benar menjadi fenomena umum, bagaimana nantinya nasib wanita-wanita muslimah? Dan perlu diingat bahwa di antara hikmah dibolehkannya menikah dengan kitabiyah adalah supaya wanita kitabiyah itu masuk ke pangkuan Islam melalui pernikahan. Jika diperkirakan itu tidak mungkin terjadi, para ulama memakruhkan bahkan ada yang mengharamkannya. Oleh sebab itu ada kondisi di mana seorang muslim dimakruhkan menikah dengan kitabiyah:
Pertama, wanita tersebut harbiyah (mempunyai jiwa menyerang, tidak mungkin dipengaruhi dan bahkan mungkin akan menyebabkan hancurnya moral anak-anak yang dilahirkan, serta tidak mustahil ia akan mempengaruhi sang suami).
Kedua, adanya wanita muslimah yang bisa dinikahi. Imam Ibn Taymiah mengatakan: “Makruh hukumnya menikah dengan wanita kitabiyah sementara di saat yang sama masih ada wanita-wanita muslimah”(lihat, Al-Ikhtiyarât al-fiqhiyah min fatâwâ syaikh al-Islâm Ibn Taymiah, h. 372).
- Menikah Dengan Laki-laki Ahlul Kitab
Ayat di atas menegaskan: dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Dalam konteks ini tidak ditemukan ayat lain yang mengkhususkannya, seperti ayat mengenai menikah dengan wanita kitabiyah. Artinya tidak ada keterangan lain mengenai hukum boleh-tidaknya menikah dengan laki-laki ahlul kitab, kecuali ayat di atas. Bila disebutkan bahwa ahlul kitab tergolong orang-orang musyrik, maka berdasarkan ayat di atas tidak boleh seorang muslimah menikah dengan laki-laki musyrik. Berbeda jika wanitanya ahlul kitab dan calon suamimya muslim, itu dibolehkan karena adanya ayat lain yang menegaskan bolehnya sebagaimana telah diterangkan tadi.
Jelasnya, bahwa seorang wanita muslimah tidak boleh dalam kondisi apapun menikah dengan seorang yang musyrik, termasuk laki-laki Yahudi dan Nasrani, karena al-Qur’an telah menyebutkan bahwa mereka tergolong kafir. Allah berfirman: “Orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata”. (QS. Al-Bayyinah:1). Lebih dari itu mereka juga akan selalu mempengaruhi istrinya agar menjadi kafir, yang dengannya ia bisa masuk neraka. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.
Kerena itulah Allah menekankan dengan sangat tegas bahwa menikah dengan seorang mukmin tetap lebih utama, sekalipun ia seorang budak: wala amatun mu’minatun khairun min musyrikatin walau a’jabatkum (Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu). Lalu dipertegas lagi pada ayat berikutnya: wala ‘abdun mu’minun khairun min musyrikin walau a’jabakum (Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu). Perhatikan, penegasan ini tidak mengandung penafsiran lain keculai bahwa yang harus diutamakan dalam pernikahan adalah kesamaan akidah. Sebab dari kesamaan akidah akan mudah menentukan kesamaan tujuan sekaligus kesamaan cara hidup. Dan hanya dengan ini kelak upaya untuk saling membantu dalam mentaati Allah (at-ta’âwun bi al-birr wa at-taqwa) akan lebih tercipta, di mana dari sini kebahagiaan hakiki akan dicapai, tidak saja di dunia melainkan juga di akhirat.
- Pendapat Yang Mengharamkan
Sungguhpun dalam pembahasan di atas, ada peluang dibolehkannya menikahi ahlul kitab, tetapi ulama-ulama kontemporer Indonesia mengharamkan perkawinan dengan non-Islam baik dengan ahlul kitab ataupun musyrikah. Pendapat ini seperti yang termaktub dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Dalam KHI Pasal 40 disebutkan:
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu:
- karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain;
- seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;
- seorang wanita yang tidak beragama Islam.
Dengan adanya ketentuan dalam KHI ini, kawin antara umat Islam dengan non-Islam tidak diperbolehkan. Hal ini karena dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 disebutkan, “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.”
Mejelis Ulama Indonesia dalam fatwanya juga mengharamkan perkawinan beda agama, bahkan dengan ahlul kitabsekalipun. Dalil-dalil yang dijadikan argumentasinya adalah surat Al-Baqarah ayat 221 dan Al-Maidah ayat 5. Di samping itu, MUI menilai bahwa nikah beda agama dapat mendatangkan kemafsadatan, yaitu berpotensi menjadi keluarga tidak bahagia dan seorang mukmin dapat terancam menjadi kafir. Karena itu MUI secara tegas menfatwakan nikah beda agama hukumnya haram, baik bagi kaum laki-laki maupun perempuan.
Kesimpulan
Nikah adalah wahana untuk menciptakan keharmonisan dan kebahagiaan dalam keluarga. Keluarga yang seiman, seaqidah, sevisi dan semisi dalam membangun keluarga ke depan, tentu lebih maslahah dibandingkan keluarga yang di dalamnya banyak perbedaan, lebih-lebih kalau perbedaannya dalam hal agama. Karena itu, sangat tepat ulama yang berpendapat bahwa nikah beda agama hukumnya tidak sah.