CHOLILNAFIS.COM, BAGIAN 4 (Fikih Keluarga) – Akhir-akhir ini, fenomena nikah siri memberikan kesan yang menarik. Pertama, nikah siri sepertinya memang benar-benar telah menjadi tren yang tidak saja dipraktikkan oleh masyarakat umum, namun juga dipraktikkan oleh figur masyarakat yang selama ini sering disebut dengan istilah kyai, dai, ustad, ulama, atau istilah lainnya yang menandai kemampuan seseorang mendalami agama (Islam), juga di kalangan pejabat, dan tokoh msyarakat. Kedua, nikah siri sering ditempatkan menjadi sebuah pilihan ketika seseorang hendak berpoligami dengan sejumlah alasannya tersendiri.
Membicarakan masalah nikah siri akan jadi menarik jika ditilik dari perspektif hukum, baik hukum Islam maupun hukum positif yang berlaku di negara kita.
Perlu diketahui, pengertian nikah siri yang beredar di masyarakat itu ada dua macam yaitu:
- Pernikahan yang dilakukan tanpa wali
- Pernikahan yang dilakukan dengan adanya wali dan terpenuhi syarat syarat lainnya tetapi tidak dicatat di KUA setempat.
Maka, Untuk pernikahan yang dilakukan tanpa adanya wali dari pihak wanita, pernikahan seperti ini adalah batil dan tidak sah. Demikian mazhab dari kebanyakan ulama. Dalilnya:
Firman Allah:
وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوفِ ۗ ذَٰلِكَ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ مِنْكُمْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۗ
“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis ‘iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian”.(Q.S. Al-Baqarah : 232).
Sebab turunnya ayat ini, dari Hasan Al-Bashri berkata: “Ma’qil bin Yasar menceritakan kepadaku bahwa ayat (Janganlah engkau menghalangi mereka) turun mengenai dirinya”. Beliau berkata selanjutnya: “Saya menikahkan saudariku dengan seseorang, lalu dia menceraikannya sampai tatkala sudah habis masa iddahnya, lalu dia datang lagi untuk meminangnya. Maka saya pun berkata padanya: “Saya telah menikahkan engkau dan memuliakanmu lalu engkau menceraikannya, kemudian sekarang engkau datang untuk meminangnya lagi. Demi Allah engkau tidak akan kembali lagi padanya selama-lamanya.” Padahal sebenarnya dia itu seseorang yang tidak bermasalah, juga saudariku pun ingin kembali padanya. Maka turunlah firman Allah : (Janganlah engkau menghalangi mereka). Maka saya berkata : “Sekarang saya akan melakukannya Ya Rasulullah.” Lalu saya pun menikahkan keduanya.” (HR. Bukhari, Abu Dawud, dan Tirmidzi ).
Al-Hafizh Ibnu Hajar r.a. berkata: “Ayat ini adalah dalil yang paling tegas tentang disyaratkannya wali, karena seandainya tidak maka larangannya tidak akan berarti. Imam Ibnul Mundzir menyebutkan bahwa tidak diketahui ada seorang sahabat pun yang menyelisihi hal ini. “ (Fathul bâri, XIV/ 384). Rasulullah saw. bersabda:
“Dari ABu Hurairah r.a., sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda, ‘Tidaklah boleh (sah) perempuan menikahkan perempuan, dan tidaklah boleh (sah) perempuan menikahkan dirinya sendiri.” (H.R. Ibn Majah)
“Rasulullah saw. bersabda, ‘Tidak sah nikah kecuali ada wali dan dua saksi yang adil. Jika akad nikah tidak ada (wali dan dua saksi) maka nikahnya batal.”(H.R. Ibn Hibban)
Imam Taqiyuddin Abi Bakar bin Muhammad al-Hasini al-Dimasyqi, ulama madzhab syafi’i, berpendapat, “Wali termasuk salah satu rukun nikah. Maka tidak sah akad nikah tanpa ada izin wali (dari mempelai wanita)”. (Kifâyatul Akhyâr Fi Halli Ghâyat al-Ikhtshâr, II/40).
Pendapat mayoritas ulama:
“Pendapat Jumhur (mayoritas) ulama: Bahwa akad nikah tidak sah tanpa ada izin dari walinya, seorang perempuan tidak bisa menikahkan dirinya sendiri dan orang lain, dalam menikahkan perempuan tidak bisa mewakilkan kecuali walinya. Jika seorang perempuan mengerjakan hal itu (nikah tanpa izin walinya), walaupun dirinya telah baligh, pintar dan mampu maka tidak sah akad nikahnya”. (Wahbah az-Zuhaili, al-fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, juz 7, hlm 193).
Pernikahan secara agama sebaiknya diumumkan (walimah) karena sebagian ulama berpendapat bahwa walimah hukumnya wajib dan ada juga yang berpendapat hukum walimah adalah sunnah muakaddah.
Jika kita melakukan sebuah kebenaran pasti kita tidak akan takut bila orang lain mengetahuinya dan anehnya kenapa banyak juga yang masih menikah secara sembunyi-sembunyi, padahal diketahui banyak orang akan lebih mendapatkan ketenangan dalam hidup.
Nikah sirri dalam artian kedua, yaitu nikah yang syarat/rukunnya sesuai dengan tuntunan fiqih Islam tetapi tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA). Persoalan ini dari dulu sulit dipecahkan, karena masing-masing pihak berpendapat dengan pandangan parsial. Kalangan yang mengatakan nikah sirri hukumnya sah menurut agama, berargumen bahwa sebagai muslim yang terpenting menjalankan ketentuan-ketentuan yang tersurat dalam syariat Islam.
Namun demikian, pandangan seperti itu jika dikaitkan dengan hukum perkawinan, dapat dikataka terlalu menyederhakan persoalan yang sangat penting dalam kehidupan manusia.
Perlu diketahui, bahwa pernikahan sebagai sesuatu yang luhur, sakral, bermakna ibadah, mengikuti sunnah Rasulullah, dan yang dilaksanakan atas dasar keikhlasan, tanggungjawab serta mengikuti ketentuan hukum yang berlaku.
Sebagai suatu perbuatan hukum, perkawinan mempunyai akibat-akibat hukum baik bagi suami, istri maupun anak yang lahir dalam atau akibat perkawinan tersebut seperti menyelesaikan harta bersama, penguasaan anak, biaya pendidikan anak bahkan termasuk kewarisan.
Pasal 1 UU No. 1 /1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa “perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Untuk terlaksana dan sahnya perkawinan, maka pasal 2 ayat (1) UU. No. 1 tahun 1974 menyebutkan; Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sedangkan ayat (2) disebutkan: tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan pasal 2 ayat (1) dan (2) tersebut merupakan syarat kumulatif bukan fakultatif ataupun alternatif, oleh karenanya perkawinan yang telah dilaksanakan menurut ketentuan syari’at Islam tanpa dicatat oleh PPN belumlah dianggap perkawinan yang sah. Hal ini dapat diperkuat dengan pemahaman terhadap surat An-Nisâ” 59
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An-Nisâ: 59)
Ayat ini menunjukkan taat kepada Ulil Amri hukumnya wajib. Yang dimaksud ulil amri adalah orang yang memegang urusan kita. Dalam konteks perkawinan yang memiliki kewenagan adalah pemerintah. Karena itu, taat kepada pemerintah dalam hal ini hukumnya wajib.
Islam juga didukung oleh teori pembentukan hukum dengan konsep “maslahah mursalah”. Di mana berdasarkan konsep ini pemerintah dibolehkan mengatur hal-hal yang mendatangkan kemaslahatan umum dan mencegah kemadharatan bagi masyarakat.
Pencatatan nikah memiliki arti yang sangat positif, karena akta nikah merupakan bukti autentik sahnya perkawinan seseorang dan sangat bermanfaat serta maslahah bagi dirinya dan keluarganya seperti:
- Untuk menolak kemungkinan di kemudian hari adanya pengingkaran atas perkawinannya,
- Akibat hukum dari perkawinannya itu harta bersama dalam perkawinan, hak waris,
- Untuk melindungi dari fitnah
Akibat perkawinan yang tidak dicatat oleh petugas pencatat nikah, maka akan berkonskuensi:
a. Perkawinan Dianggap tidak Sah
Meski perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaan, namun di mata negara perkawinan dianggap tidak sah jika belum dicatat oleh Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil.
b. Anak Hanya Mempunyai Hubungan Perdata dengan Ibu dan Keluarga Ibu
Anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan atau perkawinan yang tidak tercatat, selain dianggap anak tidak sah, juga hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu atau keluarga ibu (Pasal 42 dan 43 Undang-Undang Perkawinan). Sedang hubungan perdata dengan ayahnya tidak ada.
c. Anak dan Ibunya tidak Berhak atas Nafkah dan Warisan
Akibat lebih jauh dari perkawinan yang tidak tercatat adalah, baik isteri maupun anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak berhak menuntut nafkah ataupun warisan dari ayahnya.
Dalam Islam mewujudkan kemaslahatan hukumnya wajib. Sedangkan pencatatan pernikahan adalah upaya mewujudkan kemaslahatan dalam kehidupan umat manusia. Karena itu, sebagaimana kaidah fiqih yang berbunyi:
“Apa-apa yang tidak menyempurnakan wajib kecuali dengan cara itu, maka mengadakan cara itu hukumnya wajib.”
Juga ditopang dengan konsep Sadz adz-Darî’ah (memotong terjadinya kemadharatan yang lebih parah), maka perkawianan yang tidak dicatatkan oleh petugas pencatat nikah, hukumnya tidak sah.
Kesimpulan
Perkawinan dalam Islam adalah perbuatan yang luhur didasari ketakwaan kepada Allah SWT. dengan tujuan memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Karena itu, sebuah ikatan perkawinan tidak boleh dibatasi oleh waktu atau ketentuan-ketentuan lain yang menjadikan akad nikah seperti permainan saja. Nikah ditujukan untuk kemaslahatan semua pihak, baik pihak suami, isteri, dan semua anggota keluarganya. Sedang nikah sirri membuka peluang terjadinya kemadharatan kepada isteri dan anak-anak, juga tidak diakui oleh pemerintah. Karena itu, dalam tinjauan fiqih kontemporer, nikah sirri hukumnya haram.