CHOLILNAFIS.COM, BAGIAN 5 (Fikih Keluarga) – Pernikahan di bawah umur masih menjadi polemik dan kontroversi dalam masyarakat dikarenakan ada asumsi bahwa hal tersebut dibolehkan oleh agama, didorong serta dicontohkan oleh Baginda Nabi Muhammad saw. atau setidaknya Islam tidak mengatur batasan minimal usia perkawinan. Yang dimaksud pernikahan di bawah umur adalah pernikahan orang yang belum mencapai baligh bagi pria dan belum mencapai menstruasi (haidh) bagi wanita.
Memang Syariat Islam secara eksplisit tidak mengatur atau memberikan batasan usia tertentu untuk melaksanakan suatu pernikahan. Namun secara implisit syariat menghendaki orang yang hendak melakukan pernikahan adalah benar-benar orang yang sudah siap mental, fisik dan psikis, dewasa, dan paham akan arti sebuah pernikahan.
Karenanya, tidak ditetapkannya usia tertentu dalam masalah usia sebenarnya memberikan kebebasan bagi umat untuk menyesuaikan masalah tersebut tergantung situasi, kepentingan, kondisi pribadi keluarga dan atau kebiasaan masyarakat setempat, yang jelas kematangan jasmani dan rohani kedua belah pihak menjadi prioritas dalam agama.
Ada orang menikahi gadis berusia 12 tahun dengan alasan salah satunya karena mencontoh Rasulullah yang menikahi Aisyah ketika ia berusia 7 atau 9 tahun.
Untuk menjawab persoalan ini, kita harus melihat tinjauan kemaslahatan dalam perkawinan untuk kedua belah pihak.
Dari aspek kemaslahatan, maka pernikahan yang dilakukan oleh anak yang belum dewasa dan belum memiliki kematangan psikologis, berpotensi merusak masa depan pasangan tersebut. Terlebih jika pihak mempelai perempuan tidak tahu apa-apa, ia hanya sekedar mengikuti kemauan walinya.
Karena itu, untuk kemaslahatan, ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun. Dalam undang-undang pernikahan di sejumlah negara Arab hampir sama dengan undang-undang Indonesia. Suriah, umpamanya menjelaskan batas usia pernikahan untuk pria adalah jika telah mencapai 18 tahun dan untuk wanitanya jika sudah berusia 16 tahun (Undang-undang Pernikahan Suriah, pasal 16).
Apa yang telah dibuat oleh undang-udang hendaknya mendapat dukungan dari semua pihak khususnya para da’i serta hendaknya dapat menjadi contoh baik dengan mengedepankan hal-hal yang telah menjadi standar dalam syariat dan bukan mencari hal-hal kontroversi yang menjadikan orang-orang menjadi bertanya-tanya bahkan yang lebih parah lagi meragukan kebenaran syariat.
Yang jelas bahwa Islam dengan Syariatnya menghendaki kemaslahatan menyeluruh (mashlahah ‘ammah) tercipta dalam kehidupan manusia. Karena itu, tentu saja semua hal yang berpotensi merusak kemaslahatan hukumnya harus dihilangkan sebagaimana sabda Rasulullah saw. berikut:
Dari ‘Ubadah bin Shamit, sesungguhnya Rasulullah saw. menghukumi dengan ketentuan “tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
Kemudian ulama juga merumuskan kaidah fiqhiyyah yang berorientasi kepada kemaslahatan sebagai berikut:
الضَرُ يُزَالُ
Kemadharatan harus dihilangkan
دَرْءُ المَفاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
Membuang kemafsadatan harus diutamakan daripada menarik manfaat.
Kesimpulan
Dari hadits Nabi Muhammad saw. dan kaidah fiqih di atas, sudah sepatutnya pernikahan di bawah umur tidak diperbolehkan. Apa yang dilakukan pembuat Undang-undang dengan mencantumkan batasan minimal usia nikah adalah hal positif yang tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Islam mensyariatkan nikah tujuannya adalah untuk terciptanya kemaslahatan kehidupan baik sekarang di dunia ataupun nanti di akhirat.