CHOLILNAFIS.COM, BAGIAN 6 (Fikih Keluarga), Poligami (ta’addud az-zaujât) dalam Bahasa Inggris “poligamy” yang berarti seorang pria yang memiliki istri lebih dari seorang wanita. Lawannya Poliandri. Allah SWT. menjadikan keluarga sebagai tonggak kehidupan, kaidah pembangunan, asas pertumbuhan sosial kemasyarakatan, dan perkembangan peradaban.
Demikianlah Allah mengokohkan bangunan keluarga dan masyarakat dengan fondasi yang kuat. Untuk melindungi bangunan dari apa yang dapat melemahkannya. Di antara kaidah-kaidah tersebut disyariatkannya poligami. Karena, kadang-kadang poligami diperlukan, bahkan menjadi penyelamat bangunan keluarga.
Keberadaan poligami dalam syariat Islam harus diakui dan tidak boleh diingkari. Jumhur ulama membolehkan berpoligami bagi laki-laki yang sanggup berlaku adil dalam kehidupan rumah tangga. Hal ini disebabkan adanya nash yang secara jelas mengungkapkan poligami, yaitu firman Allah:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An-Nisa: 3)
Ayat ini menjelaskan pokok-pokok berpoligami sebagai berikut:
- Berpoligami paling banyak hingga empat orang
- Disyariatkan suami harus dapat berbuat adil di antara istri-istrinya. Barang siapa yang belum mampu memenuhi ketentuan di atas, dia tidak boleh beristri lebih dari satu.
- Adil yang dimaksud dalam ayat ini adalah yang bersifat materi (berupa sandang, pangan, tempat tinggal dan qasam (pembagian giliran pulang) dan immateri (yang berupa mawaddah wa rahmah, cinta kasih dan sayang).
- Kemampuan suami dalam hal nafkah kepada istri dan anak-anaknya.
Adapun standar keadilan yang dituntut dalam ayat ini adalah sebagai berikut: Pertama, yang dinilai adalah niat yang baik dan amal yang shaleh, yang tentunya dibarengi dengan perbuatan yang baik. Kedua, keadilan dalam hal persamaan antara istri-istri yang ada. Setiap istri sama dengan istri yang lain dalam kapasitasnya sebagai istri, karena ukurannya adalah hubungan sebagai suami-istri dalam hal kebutuhan yang bersifat materi dan immateri. Mengenai kebutuhan yang bersifat immateri Allah SWT. menjelaskan dalam firmannya:
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ ۖ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ ۚ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istrimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa: 129)
Imam Syafi’i dan ijma para ulama berpendapat bahwa dibolehkan berpoligami sampai empat istri dan tidak ada seorang pun dibenarkan kawin lebih dari itu, kecuali Rasulullah saw. sendiri sebagai pengecualian, sedangkan kaum Syi’ah membolehkan lebih dari empat orang istri bahkan ada sebagian mereka yang membolehkan tanpa batas. Pendapat ini berpegang pada praktik Rasulullah sendiri.
Imam Qurthubi menolak pendapat mereka dengan alasan bahwa bilangan dua dan tiga dan empat bukan menunjukkan dihalalkannya kawin sembilan istri dan huruf wawu (dan) di sini bukan menunjukkan jumlah. (Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, V/16-17)
Adapun kaum Rafidhah dan sebagian Ahli Zhahir memahami kata “mastna” (dua-dua) sama artinya dengan dua tambah dua begitu pula dengan kata “tsulatsa” (tiga-tiga) dan “ruba’a” (empat-empat). Bahkan sebagian Ahli Zhahir berpendapat lebih ekstrim dari itu, yaitu mereka membolehkan kawin sampai delapan belas orang, dengan alasan bahwa bilangan-bilangan tersebut disebut dengan mengulang-ulang dan adanya kata penghubung “wawu” yang menunjukkan arti jumlah. Jadi ayat tersebut menunjukkan arti jumlah “2 + 2 + 3 + 3 + 4 + 4 = 18”.
Faham-faham seperti ini jelas menunujukkan kekurang mengertian mereka dalam memahami Bahasa Arab dan ijma’ kaum muslimin atau tabi’in yang tak pernah memadu lebih dari empat orang.
Imam Malik meriwayatkan dalam Al-Muwattha’, Nasa’i dan Daruquthni dalam masing-masing kitabnya:
“Bahwa Nabi berkata kepada Ghailan bin Umayyah Atsqalani yang masuk Islam, padahal ia punya sepuluh orang istri. Beliau bersabda kepadanya: Pilihlah empat orang di antara mereka dan ceraikanlah yang lainnya.”
Hadits ini menunjukkan bahwa setelah ayat di atas turun (An-Nisâ: 3) Rasulullah saw. memerintahkan agar setiap orang hanya boleh beristri maksimal empat orang tidak lebih dari itu, dengan selalu memperhatikan batasan-batasan “kemampuan” yang tersurat dan tersirat pada ayat tersebut.
Namun demikian, kita tidak boleh terpaku dengan kajian-kajian ulama klasik yang membolehkan poligami secara mutlak. Karena ulama-ulama kontemporer memiliki pandangan lain dengan pendapat ulama klasik, seperti Muhammad Abduh (1849-1905). Menurut Abduh, diperbolehkan poligami karena keadaan memaksa pada awal Islam. Pertama, saat itu jumlah pria sedikit dibandingkan dengan jumlah wanita akibat mati dalam peperangan antara suku dan kabilah. Maka sebagai bentuk perlindungan, para pria menikahi wanita lebih dari satu. Kedua, saat itu Islam masih sedikit sekali pemeluknya. Dengan poligami, wanita yang dinikahi diharapkan masuk Islam dan memengaruhi sanak-keluarganya. Ketiga, dengan poligami terjalin ikatan pernikahan antarsuku yang mencegah peperangan dan konflik.
Menurut Abduh, kondisi sekarang sudah berubah. Poligami justru dapat menimbulkan permusuhan, kebencian, dan pertengkaran antara para istri dan anak. Efek psikologis bagi anak-anak hasil pernikahan poligami sangat buruk: merasa tersisih, tak diperhatikan, kurang kasih sayang, dan dididik dalam suasana kebencian karena konflik itu. Suami menjadi suka berbohong dan menipu karena sifat manusia yang tidak mungkin berbuat adil. Pada akhir tafsirnya, Abduh mengatakan dengan tegas poligami haram qat’iy karena syarat yang diminta adalah berbuat adil, dan itu tidak mungkin dipenuhi manusia. (Lihat Tafsir al-Manâr, IV/347-350).
Mantan Syeikh Al-Azhar ini menjelaskan tiga alasan haramnya poligami. Pertama, syarat poligami adalah berbuat adil. Syarat ini sangat sulit dipenuhi dan hampir mustahil, sebab Allah SWT. sudah jelas mengatakan dalam surah an-Nisâ’ ayat 129 bahwa lelaki tidak akan mungkin berbuat adil. Kedua, buruknya perlakuan para suami yang berpoligami terhadap para istrinya, karena mereka tidak dapat melaksanakan kewajiban untuk memberi nafkah lahir dan batin secara baik dan adil. Ketiga, dampak psikologis anak-anak dari hasil pernikahan poligami. Mereka tumbuh dalam kebencian dan pertengkaran sebab ibu mereka bertengkar baik dengan suami atau dengan istri yang lain.
Pada akhir fatwanya ia meminta para hakim, ulama, dan pemerintah agar melarang poligami. (Lihat al-A’mâl al-Kâmilah, II/76-87).
Abduh menjelaskan hanya Nabi Muhammad saja yang dapat berbuat adil sementara yang lain tidak, dan perbuatan yang satu ini tak dapat dijadikan patokan sebab ini kekhususan dari akhlak Nabi kepada istri-istrinya. ‘Abduh membolehkan poligami hanya kalau istri itu mandul.
Fatwa dan tafsir Abduh di atas dipegang Presiden Tunisia Bourguiba pada tahun 1956 untuk mensahkan undang-undang (UU) yang melarang poligami. Tunisia adalah satu-satunya negara Muslim yang melarang poligami sekarang ini. Namun, Turki saat pemerintahan Musthafa Kemal Ataturk pada tahun 1926 juga melarang poligami.
UU Tunisia yang tegas dan sangat berani melarang poligami tidak diikuti negara lain. Justru sebaliknya, hampir semua negara Muslim di dunia melegalisasi poligami, seperti di Yaman Selatan (1974), Siria (1953), Mesir (1929), Maroko (1958), dan Paki-stan (1961).
UU RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan membolehkan poligami dengan syarat atas izin istri pertama. Di Indonesia, sungguhpun poligami diakui tetapi syaratnya sangat ketat, apalagi bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Kesimpulan
Untuk mengatakan bahwa poligami hukumnya haram, tentu bertentangan dengan syariat Islam, demikian juga mempermudah poligami juga tidak selaras dengan pesan Al-Qur’an yang mensyaratkan “bisa berlaku adil”. Sementara keadilan itu sendiri sulit diwujudkan oleh manusia.
Karena itu, alangkah bijaknya kalau kita tidak melakukan poligami karena poligami pada umumnya hanya akan menjadikan keluarga tidak bahagia dan anak-anak ikut terkena imbasnya. Di samping itu, kaum perempuan juga berpotensi mengalami penderitaan lahir dan batin akibat suaminya poligami.
Melihat legalitas syariah tidak boleh dari aspek hukumnya saja, tetapi juga harus dikembalikan pada apakah kita mampu melaksanakannya. Karena, disyariatkannya poligami, bukan perintah tetapi hanya pengakuan bahwa poligami dengan syarat tertentu dapat dilakukan menurut Islam. Jadi poligami halal, tetapi syaratnya berat.