CHOLILNAFIS.COM – Habitat saya adalah sarungan. Pakaian yang saya kenal pertama kali untuk menutup dari pusar ke bawah adalah sarung. Saat saya sekolah di pesantren Salafiyah Jrenguan, Sampang-Madura saya memakai sarung dan alas kaki sandal bukan sepatu.
Saat saya nyantri di Pesantren Sidogiri juga sarungan. Bahkan saat saya main sepak bola pun saat di Madura dan di pesantren Sidogiri sering memakai sarungan bukan celana trening. Itu pun sering kali saya tak memakai daleman. 😷
Sampai sekarang saya belum bisa merasa nyaman dan bisa istirahat manakala belum ganti celana dengan memakai sarung. Sarung buat saya menenangkan dan menentramkan.
Saat saya kuliah di Jakarta inilah yang mengubah style busana saya dari sarung ke celana. Kuliah dan menjadi aktifis selalu bercelana. Bahkan saat saya menjadi guru dan nyambi kuliah saya harus bercelana karena menyesuaikan dengan lingkungan sekitar. Padahal becelana itu kurang menenangkan bagian terdalam. 😷

Kini saya menemukan momentum sarungan itu. Saat saya jadi pengurus (PBNU) Pengurus Besar Nadhlatul Ulama dan di Majelis Ulama Indonesia (MUI) saya mulai sering sarungan. Dan, Saat teman2 kru Damai Indonesiaku TVONEmenganjurkan saya untuk memakai sarung saat tampil yang dikombinasi dengan memakai jas saya mengiakan. Saya pikir itu pakaian khas kiai-kiai dan gus-gus di pesantren saat acara resmi.
Saat ini saya merasa nyaman masuk mall dan tampil di TV dengan pakai khas Sarungan. Dan, ternyata pejabat dan artis kini banyak yang memakai sarung, saat acara keagamaan bahkan saat akad nikah. Sarung itu fleksibel seperti halnya yang dirasakan oleh isinya sarung. (CN)