Pertanyaan:
Ustadz, sebagai bakti saya pada suami, kalau kami selesai salat jamaah di rumah bersama suami saya cium tangannya. Yang jadi pertanyaan, batalkah wudu saya? Apa boleh setelah itu salat sunnah?
bu Yuni
Kertajaya Surabaya
Jawaban:
Ibu Yuni yang saya hormati, komunikasi yang baik dalam kehidupan suami isteri akan menjadikan keluarga bahagia, sakinah, mawaddah wa rahmah. Salah satu media komunikasi keluarga adalah shalat jamaah bersama anggota keluarga di rumah. Maka dari itu sempatkanlah salat berjamaah bersama anak dan isteri dalam kehidupan rumah tangga, jika tidak sempat berjamaah di masjid terdekat.
Ibu Yuni, salat itu sah kalau wudunya sah, karena di antara syarat sahnya salat adalah harus punya wudu. Satu wudu bisa digunakan untuk beberapa salat, baik salat wajib atau sunnah selama belum batal wudunya. Adapun di antara yang membatalkan wudu yaitu bersentuhannya antara kulit seorang laki dan perempuan yang bukan mahramnya. Hal ini berdasarkan firman Allah surat al-Nisa’ ayat 43. ”… atau kamu telah menyentuh perempuan…”
(au lâ mastum an-nisâ’).
Namun apakah sekedar bersentuhan, wudunya sudah batal? Para ulama’ berbeda pendapat:
- Imam Abu Hanifah; Menyentuh(al-lams) itu maksudnya aljima’ (bersetubuh), jadi wudu itu batal kalau sampai bersetubuh antara laki dan perempuan, kalau sekedar kulit ketemu kulit walaupun syahwat tidak batal wudunya.
- Imam Maliki dan Hanbali: al-lamsmaksudnya menyentuhnya seorang lelaki terhadap kulit perempuan atau sebaliknya yang dibarengi dengan syahwat. Kalau tidak syahwat maka tidak batal.
- Imam Syafi’i; al-lams itu sekedar bertemunya kulit lelaki dengan kulit perempuan yang bukan mahram dan tanpa penghalang walaupun tidak syahwat sudah batal wudunya. (al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh : 1/243)
Ibu Yuni yang dimuliakan Allah, kalau Ibu setelah salat bermakmum ke suaminya lalu mencium tangan dan bersentuhan kulit tangan Ibu dengan tangan suami tanpa penghalang kalau mau salat sunnah atau wajib lagi sebaiknya wudu lagi saja, karena sebagai sikap lebih hati-hati dan mengikuti kaidah fiqhiyah ‘al-khuruj min al-khilâf mustahabbun’ (keluar dari perbedaan ulama itu sangat dianjurkan). Wallâh a’lam bi al-showâb.